Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih banyak, namun dari sisi kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang masalah fikih masih kalah dibanding buku komentar terhadap al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada buku komentar ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam Khomeini”
————————————————————–
Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini
Oleh: Saleh Lapadi
SALAH SATU karya fikih yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini adalah buku Tahrir Wasilah. Buku fikih yang memuat kumpulan fatwa fikih paling lengkap Imam Khomeini. Kedalaman dan keluasan pembahasan buku ini, berikut kekokohan argumentasinya mampu menepis fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang tidak memperbolehkan mengikuti fatwa seorang mujtahid yang telah meninggal dunia. Sebagian besar pendapat dan fatwa Imam Khomeini dalam buku Tahrir Wasilah sampai saat ini adalah pendapat puncak dan diakui oleh sebagian besar mujtahid yang nota bene adalah murid-muridnya. Oleh karenanya, sebagian dari mujtahid yang ada saat ini masih memperbolehkan para mukallidnya (mereka yang bertaklid), yang sebelumnya bertaklid kepada Imam Khomeini untuk tetap mengamalkan buku Tahrir Wasilah. Sementara untuk fatwa yang berbeda dan masalah baru yang tidak terdapat dalam buku Tahrir, mukallid harus mengikuti pendapat mereka.[1]
Sebelum mengenal lebih jauh tentang buku Tahrir Wasilah karangan Imam Khomeini itu, ada baiknya mengenal beberapa karya fikih beliau yang ditulis sebagai buku fatwa. Buku fikih fatwa paling awal yang ditulis oleh Imam Khomeini merupakan komentar beliau terhadap buku karangan Ayatullah al-Uzhma Sayyid Abu al-Hasan Isfahani (1284-1365 H-Q) yang berjudul Wasilah an-Najah (Pengantar Keselamatan). Buku ini beliau tulis beberapa tahun sebelum meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan dicetak dengan judul “Wasilah an-Najah Ma’a Ta’aliq al-Imam al-Khomeini”, Ayatullah Burujerdi semasa hidupnya adalah mujtahid Syi’ah terbesar. Komentar-komentar beliau terhadap buku Wasilah an-Najah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya buku Tahrir Wasilah. Disebutkan bahwa ada beberapa perbedaan fatwa beliau yang ditulis dalam komentarnya terhadap Wasilah an-Najah dan buku Tahrir Wasilah. Namun ini tidak menjadi masalah karena penulisan buku komentar terhadap Wasilah an-Najah lebih dahulu, maka tentunya yang diutamakan adalah pendapat beliau dalam buku Tahrir Wasilah.
Selain mengomentari buku Wasilah an-Najah karya Sayyid Abu al-Hasan al-Isfahani, beliau juga mengomentari buku al-‘Urwah al-Wutsqa karangan Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim al-Yazdi (1247-1337 H-Q). Buku al-‘Urwah al-Wutsqa adalah buku argumentasi fikih Syi’ah yang ditulis dengan baik dan tercatat sebagai salah satu buku yang memuat cabang-cabang masalah fikih dengan komplit pada masanya. Sayyid Yazdi sendiri setelah menulis buku tersebut mengumumkan sayembara kepada murid-muridnya dan berjanji memberikan hadiah bila menemukan kekurangan dalam hal ini.
Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih banyak, namun dari sisi kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang masalah fikih masih kalah dibanding buku komentar terhadap al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada buku komentar ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam Khomeini”.
Buku-buku yang memuat fatwa-fatwa Imam Khomeini di atas ditulis dalam bahasa Arab sebagaimana buku Tahrir Wasilah. Imam juga memiliki buku fatwa dalam bahasa Persi. Buku pertama beliau dalam bahasa Persi adalah “Resale-e Nejatul Ebad” (Risalah untuk keselamatan hamba). Buku ini dikumpulkan pada awal-awal beliau menjadi marja’ dan Ayatullah Burujerdi masih hidup. Buku ini sebagian besar adalah terjemahan Wasilah an-Najah dan pada bagian-bagian tertentu adalah terjemahan al-“Urwah al-Wutsqa yang beliau komentari. Tentu saja penyusunan buku ini dituntun langsung oleh beliau secara lisan. Setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan kemudian dicetaknya Risalah Taudhih al-Masail—kumpulan buku fatwa Imam—buku Resale-e Najatul Ebad kemudian menjadi terlupakan.
Buku fikih paling anyar dari Imam Khomeini adalah Risalah Taudhih al-Masail. Buku ini disusun dan kemudian diedit oleh mereka yang bertugas khusus menangani masalah fatwa Imam Khomeini. Setelah itu mereka mengirimkan surat kepada Imam Khomeini untuk mendapatkan persetujuan beliau bahwa apa yang tertulis dalam buku ini sesuai dengan fatwa beliau. Buku ini mendapat perhatian besar masyarakat sehingga berkali-kali dicetak ulang, dengan tambahan permasalahan-permasalahan baru yang ditanyakan kepada Imam Khomeini.
Proses Penulisan Buku Tahrir Wasilah
Buku Tahrir Wasilah pada hakikatnya merupakan hasil kerja tiga orang ulama besar Syi’ah. Mereka adalah Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim Yazdi, Ayatullah Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan Ayatullah Sayyid Ruhullah Khomeini. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Imam Khomeini menulis komentar terhadap buku Wasilah an-Najah milik Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, komentar-komentar beliau itu dijadikan matan dan teks yang berdiri sendiri dari buku Wasilah an-Najah. Kemudian beliau menambahkan masalah-masalah lain yang terinspirasi dari buku al-‘Urwah al-Wutsqa milik Sayyid Kazhim Yazdi dan menambahkan masalah-masalah kontemporer.
Penyebutan bahwa buku Tahrir Wasilah adalah hasil kerja keras tiga ulama besar di atas tentu cukup beralasan. Hal itu dikarenakan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, sumber yang dijadikan rujukan Imam Khomeini hanyalah tiga buah buku; Wasilah an-Najah, al-‘Urwah al-Wutsqa dan Wasail Syi’ah. Dan buku Tahrir Wasilah ditulis oleh Imam ketika beliau berada dalam penjara di kota Bursa Turki sehingga tidak ada kesempatan untuk mengakses kitab lain di luar.
Untuk mengenal lebih dekat bagaimana proses penulisan tersebut ada baiknya bila kita membaca sendiri tulisan Imam Khomeini dalam pembukaan buku Tahrir Wasilah. Beliau menyebutkan:
“Sebelumnya saya telah memberikan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah miliki Sayyid al-Hujjah Isfahani. Pada akhir bulan Jumadil Tsani tahun 1384 H-Q (bertepatan dengan tanggal 13 Aban 1343 H-S), saya diasingkan dari kota Qom ke kota pelabuhan Boursa di Turki karena peristiwa yang sangat berat dan memilukan yang menimpa Islam dan kaum muslimin, dan saya yakin bahwa sejarah pasti mencatat hal itu. Di sana, saya diawasi dengan sangat ketat. Karena masih ada waktu senggang, saya kemudian memutuskan untuk menjadikan komentar-komentar saya terhadap buku Wasilah an-Najah sebagai teks dan buku sehingga lebih mudah dan lebih bermanfaat. Dan bila Allah memberikan taufik, akan saya tambahkan masalah-masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.”[2]
Buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam dua jilid dengan perincian:
1. Jilid pertama dibagi dalam 7 kitab; ahkam taklid, taharah, salat, puasa, zakat, khumus, dan mukaddimah haji.
2. Jilid kedua dibagi dalam 26 kitab; ar-rahn, al-hajr, ad-dhaman, al-hiwalah wa al-kifalah, al-wikalah, al-iqrar, al-hibah, al-waqf wa akhawatuh, al-washiyah, al-iman wa an-nudzur, al-kaffarat, as-shaid wa az-dzibahah, al-ath’imah wa al-asyribah, al-ghashb, ihya al-mawat wa musytarakat, al-luqathah, an-nikah, at-thalaq, al-khulu’ wa al-mubarat, az-zhihar, al-ila’, al-li’an, al-mawarits, al-qadha, as-syahadat, al-hudud,
Terjemahan Tahrir Wasilah
Mengingat buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini ditulis dalam bahasa Arab, maka tentu saja tidak dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang tidak mengetahui bahasa Arab.[3] Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Di sini penulis hanya menyertakan dua terjemahan komplit dari Tahrir Wasilah ke dalam bahasa Persi disertai matan Tahrir Wasilah itu sendiri dan sebuah terjemahan bahasa Urdu.
1. Tahrir Wasilah terjemahan Sayyid Muhammad Baqir Musawi Hamadani dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh penerbit Dar al-‘Ilm, Qom pada tahun 1375 H-S.
2. Tahrir Wasilah terjemahan Ali Islami dan Qadhi Zadeh dibawah pengawasan Muhammad Mukmin Qummi dan Sayyid Hasan Taheri Khurram Abadi dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh Daftar penerbitan Islami Hauzah ilmiyah Qom.
3. Terjemahan Tahrir Wasilah ke bahasa Urdu dipimpin langsung oleh Deputi Urusan Internasional Yayasan Tanzhim dan Nasyr karya-karya Imam Khomeini. Terjemahan ini dalam empat jilid dan salah satu kelebihan terjemahan Urdu ini adalah dari setiap satu halaman terjemahan Urdu disertai dengan satu halaman matan asli.
Ringkasan Tahrir Wasilah
Dua jilid buku Tahrir Wasilah terasa memberatkan dan tidak praktis, karena tidak semua pembahasan yang ada di dalamnya dipakai. Dua jilid tersebut kurang cocok untuk memenuhi kebutuhan buku fikih fatwa pada tingkat permulaan. Untuk itu, maka dilakukan peringkasan terhadap buku Tahrir Wasilah. Namun ringkasan Tahrir Wasilah ini juga ditulis dalam bahasa Arab. Ada dua buku sebagai ringkasan Tahrir Wasilah:
1. Zubdah al-Ahkam. Buku ini diterbitkan oleh Sazman Tabligate Eslami (semacam badan penerangan), di Tehran pada tahun 1404 H-Q dengan 273 halaman.
2. Ma’rifah Abwab al-Fiqih. Buku ini diterbitkan oleh Markaze Jahani Ulume Islami untuk memenuhi kurikulum fikih praktis di tingkat permulaan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1377 H-S dengan 223 halaman.
Komentar terhadap Tahrir Wasilah
Setelah Imam Khomeini menulis buku Tahrir Wasilah dan mendapat sambutan hangat dari ulama Syi’ah, sebagian ulama kemudian memutuskan untuk memberikan komentar terhadap buku ini. Bahkan sebagian mujtahid mengambil langkah berani dengan menjadikannya sebagai buku sumber untuk kajian fikih tingkat akhir (bahts karij) mereka, setelah lama memakai buku Makasib milik Syaikh Anshari sebagai pedoman.
Di bawah ini beberapa komentar terhadap buku Tahrir Wasilah dari ulama kontemporer Syi’ah:
1. Komentar dari Ayatullah Fadhil Langkarani.
2. Komentar dari Ayatullah Makarim Syirazi.
3. Komentar dari Ayatullah Alawi Gurgani.
4. Komentar dari Ayatullah Yusuf Shane’i.
5. Komentar dari Ayatullah Abu Thalib Tajlil Tabrizi.
6. Komentar dari Ayatullah Misykini Ardebili.
Syarah terhadap Tahrir Wasilah
Imam Khomeini dalam Shahifah Nur menyebutkan:
“Ruang dan waktu adalah elemen penentu dalam berijtihad. Sebuah masalah pada masa lalu memiliki hukumnya tersendiri. Namun tampaknya, masalah yang sama, dengan kondisi berbeda yang menguasai sebuah sistem pemerintahan baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi memungkinkan munculnya sebuah hukum yang baru. Munculnya sebuah hukum yang baru tersebut dengan makna bahwa pengenalan yang lebih detil terhadap hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik pada sebuah obyek yang pada mulanya tampak tidak berbeda dengan obyek sebelumnya, ternyata benar-benar melahirkan sebuah obyek hukum yang baru dan lain dengan sebelumnya yang pada gilirannya menuntut sebuah hukum yang baru.”[4]
Konsep ijtihad dalam ruang dan waktu ini sangat mempengaruhi hasil dari penyimpulan hukum seorang mujtahid. Hal inilah yang membuat fatwa-fatwa Imam Khomeini memiliki corak tersendiri dalam khazanah pemikiran ulama Syi’ah. Dan konsep ini kemudian mulai dikaji lebih dalam oleh ulama sepeninggalnya. Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah menjadi sangat penting bagi ulama saat ini. Maka ditulislah berjilid-jilid syarah terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Bahkan mereka yang mensyarahi buku Tahrir Wasilah kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan mencoba menyingkap argumentasi dan sumber-sumber yang dipakai oleh Imam Khomeini sehingga sampai pada kesimpulan yang tertulis dalam buku Tahrirnya.
Untuk itu penulis membawakan sejumlah syarah yang ditulis untuk menjelaskan lebih jauh buku Tahrir Wasilah ini. Tentunya, mengkaji syarah-syarah yang ada akan lebih memperkaya cara pandang kita terhadap ide-ide dan corak pemikiran Imam Khomeini.
1. Tafshil as-Syari’ah. Judul lengkap buku ini adalah Tafshil as-Syari’ah Fi Syarhi Tahrir al-Wasilah. Ini adalah syarah paling terperinci dan paling lengkap tentang Tahrir Wasilah Imam Khomeini. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani salah satu murid Imam Khomeini. Bahkan jilid-jilid pertama dari syarah ini ditulis sebelum revolusi Iran, ketika Imam diasingkan ke Turki. Sampai pada penulisan makalah ini, syarah yang ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani telah dicetak sebanyak 20 jilid. Dan penulisan syarah ini masih dilanjutkan.
2. Madarik Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Murtadha Bani Fadhl Tabrizi. Pada awalnya, syarah ini hasil kuliah-kuliah yang beliau sampaikan. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan yang lainnya pada penukilan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan ijma’ yang menjadi sandaran Imam Khomeini. Karena itulah syarah ini disebut Madarik Tahrir wasilah (sumber-sumber fatwa dalam Tahrir Wasilah). Sampai saat ini, syaarh ini hanya menjelaskan tiga kitab; puasa, salat (dalam tiga jilid) dan zakat dan khumus.
3. Mabani Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Muhamamd Mukmin Qummi. Syarah ini juga merupakan hasil dari kuliah-kuliah yang disampaikan oleh beliau dari Tahrir Wasilah dalam masalah; kitab al-qadha dan as-syahadah dalam sebuah jilid dan jilid keduanyatentang kitab al-hudud.
4. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh anak Imam Khomeini yang bernama Mushthafa Khomeini dalam dua jilid. Dalam dua jilid ini beliau mensyarahi beberap bagian dari kajian Tahrir Wasilah seperti; taharah, salat, makasib wa matajir, puasa, bai’ (jual beli), khiyarat dan nikah. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan syarah-syarah yang lain selain penelitian yang dalam dan ketelitian yang lebih ada pada pengeditan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Imam sendiri. Dan itu ketika Sayyid Musthafa menanyakan sebagian masalah yang ada pada buku Tahrir Wasilah kepada Imam Khomeini sang ayah.
5. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini namanya mirip dengan syarah yang ditulis oleh Sayyid Musthafa Khomeini namun ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Ahmad Muthahhari Saveji dalam delapan jilid. Lebih dari dua puluh tahun beliau memberikan perhatian terhadap buku Tahrir Wasilah dan pada waktu itu masih langka ulama yang melakukannya. Beliau mensyarahi beberapa bagian masalah dalam Tahrir Wasilah. Sayangnya buku ini dicetak tanpa memiliki indeks yang baik bahkan tidak ada kata pengantar dari sang penulis. Sebagian dari buku ini ditulis sendiri oleh penulis dan sebagian lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Persi oleh orang lain.
6. Fiqh as-Tsaqalain. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Yusuf Shane’i dalam dua jilid. Sebagaimana syarah Tahrir Wasilah yang lain, buku ini adalah hasil kuliah fikih tingkat akhir (bahts kharij). Dua jilid dari syarah beliau ini menyangkut kitab thalaq dan kitab qishas. Kelebihan syarah ini dibandingkan syarah lainnya adalah buku ini merupakan hasil kuliah yang dikaji beliau bersama mahasiswanya. Hasil kajian ditulis oleh salah seorang mahasiswadan kemudian diteliti lagi oleh beliau secara langsung sebelum naik cetak.
7. Anwar al-Faqahah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Makarim Syirazi. Ayatullah Makarim dalam pengantarnya menyebutkan alasannya mengapa beliau memilih mensyarahi buku Tahrir Wasilah. Pertama, karena matan asli buku Tahrir adalah Wasilah an-Najah. Kedua, mencakup kajian-kajian yang ditulis oleh Sayyid Yazdi dalam bukunya al-‘Urwah al-Wutsqa. Dan ketiga, dikarenakan buku Tahrir Wasilah membahas banyak hal yang dibutuhkan untuk masa kini sementara ulama yang lain kurang memperhatikan hal tersebut.
8. Mu’tamid Tahrir Wasilah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abbas Zhahiri Isfahani dalam satu jilid. Buku ini hanya mengambil satu bab dalam buku Tahrir Wasilah mengenai masalah-masalah kontemporer. Menurut penulis dalam pengantarnya, baru kali ini Imam menulis buku fatwanya dan disertai dengan bab khusus tentang masalah-masalah kontemporer dan ini membuat beliau tertarik untuk mensyarahinya.
9. Misbah Syari’ah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Abdunnabi Namazi Bushehri dalam empat jilid. Keempat jilid tersebut merupakan syarah beberapa bagian dari buku Tahrir Wasilah. Jilid pertama mensyarahi bagian ijtihad dan taklid, jilid kedua membicarakan salat musafir. Jilid ketiga dan keempat menjelaskan secara panjang lebar tentang masalah khumus dan puasa.
10. Dalil Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Ali Akbar Saifi Mazandarani dalam enam jilid. Masing-masing membicarakan tema-tema penting dalam buku Tahrir Wasilah seperti; wilayatul faqih, khumus, ahkam as-satr wa an-nazhar, as-shaid wa az-dzibahah dan ahkam al-usrah.
11. Syarh Tahrir Wasilah. Ayatullah Syaikh Ahmad Sibth as-Syaikh (1349-1416 H-Q) dalam satu jilid berusaha mensyarahi masalah taklid dan taharah. Beliau tidak sempat melanjutkan syarahnya terhadap buku Tahrir Wasilah karena meninggal dunia. Kekurangan syarah ini, sebagaimana buku-buku yang dicetak dahulu, tidak memiliki catatan kaki dan sumber rujukan.
12. Nur ad-Din al-Munir.[5] Pengarang buku ini adalah Sayyid Nuruddin Shariat Nadari Jazairi. Poin penting dari syarah ini adalah usaha penulis untuk melakukan kajian perbandingan dua tokoh besar dari ulama Syi’ah yaitu; Imam Khomeini dan Sayyid Khu’i. Dan studi komparasi keduanya dalam masalah ijtihad dan taklid dan beberap tema-tema penting lainnya. Tentu studi perbandingan yang dilakukan tidak keluar dari usaha untuk menyusun ensiklopedia fikih dan usul fikih.
Masih ada beberapa syarah lain yang ditulis oleh ulama kontemporer Syi’ah terhadap buku Tahrir Wasilah yang tidak disebutkan di sini. Dan tentu saja usaha untuk menggali pemikiran-pemikiran Imam Khomeini tidak akan cukup dengan hanya menukil beberapa syarah dan komentar yang ditulis mengenai Tahrir Wasilah. [ISLAT]
Sumber rujukan:
1. Nashiruddin Anshari Qummi, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Ayeneh-e Pazhoohesh (Jurnal tiga bulanan Mirror of Research), vol 91, 1384.
2. Hasan Pouya, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Qom, Muasasaeh Tanzim Va Nashre Asare Emam Khomeini, 1383.
________________________________________
Catatan Kaki:
[1] . Menurut hemat penyusun, sebenarnya fenomena ini memiliki beberapa alasan. Pertama, dituntut oleh sikap moral murid terhadap guru yang ada pada hauzah ilmiah hingga sekarang. Dan kedua, lebih pada alasan teknis agar tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu. Dengan demikian, fatwa yang disampaikan oleh ulama tentang masalah taklid kepada seorang mujtahid yang telah meninggal sebenarnya pada substansinya tidak berbeda. Karena ketika disebutkan masih diperbolehkan mengikuti pendapat Imam Khomeini sebenarnya hal itu menunjukkan kesamaan pendapat mujtahid yang hidup dengan pendapat Imam Khomeini.
[2] . Imam Khomeini, Tahrir Wasilah, Najaf Asyraf, al-Adab, 1390 H-Q.
[3] . Dan sayangnya, sampai saat ini belum ada terjemahan lengkap buku ini ke dalam bahasa Indonesia.
[4] . Khomeini,Sayyid Ruhullah Musawi, Shahifah Nur, Tehran, Soroush, 1369.
(Prajurit-Al-Mahdi/Islam-Syiah/Al-Hassanain/IRIB-Indonesia/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar