Dari Abu Said al-Khudri RA, katanya telah bersabda Rasulullah SAW: "Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaanNya, sesungguhnya seseorang tidak membenci kami, ahlul bait melainkan Allah akan memasukkan mereka ke dalam neraka" (HR Al-Hakim)
Sabda Rasulullah SAW: "Kenapa sampai ada orang yang mau mengganggu diriku dengan mencerca nasab dan keturunan kerabatku? Sungguhlah, siapa yang mengganggu kerabat dan nasabku berarti ia menggangguku, dan siapa yang menggangguku ia mengganggu Allah". Hadis ini dikeluarkan
Rasulullah setelah puteri Abu Jahal hijrah ke Madinah, kemudian beberapa orang muslimin berkata kepadanya "Hijrahmu ke Madinah tiada gunanya, karena orang tuamu pasti akan menjadi umpan neraka".
At-Thabarani meriwayatkan hadis dari Jabir ibnu Abdullah RA yang menceritakan beliau mendengar dari Rasulullah SAW: "Hai manusia, barangsiapa membenci kami, ahlul-bait, pada hari Kiamat Allah akan menggiringnya sebagai orang Yahudi"
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadis marfu' bahwa Rasulullah SAW menyatakan "Siapa yang membenci ahlul-bait ia adalah seorang munafik"
____________________________
Akhlak Pecinta Ahlul Bait
Oleh: Syaikh Shaduq
Dari Ayahandaku, semoga Allah swt memberi rahmat kepadanya, ia mengatakan telah meriwayatkan kepadaku Ali Bin Husain Asyad Abadi dari Jabir bin Ju’fi, ia mengatakan telah berkata Abu Ja’far,: “Apakah cukup yang menjadi syiah dengan hanya mengatakan cinta kepada Ahlulbait? Imam menjawab, “Demi Allah , tiada lain Syiah kami adalah mereka yang bertakwa kepada Allah dan mentaati-Nya, Mereka hanya dikenal dengan ketawadhuan, kekhusyu’an, menunaikan amanat, dan banyak berdzikir kepada Allah, shaum, shalat, berbuat baik kepada orang tua, baik kepada tetangga yang miskin, yang fakir, yang punya hutang, anak-anak yatim, jujur, membaca Quran, menjaga lisan kecuali dengan perkataan yang baik, Orang-orang syiah adalah amanah bagi para keluarga mereka”.
Jabir kemudian mengatakan,:“Wahai putra Rasulullah saw, kami mengenal mereka tetapi tidak memiliki sifat-sifat seperti ini”.Syaikh Shâduq (305-381) Beliau mengatakan,” Wahai Jabir janganlah engkau bermazhab kepada orang-orang yang hanya mengatakan aku cinta Ali as dan berwali kepadanya, dan jika ada yang mengatakan aku cinta kepada rasul dan dan Rasulullah lebih baik dari Ali as, tapi kemudian tidak mengikuti jalannya tidak mengamalkan sunnahnya maka kecintaannya itu tidak bermanfaat sedikitpun. Maka bertakwalah kepada Allah dan beramalah karena Allah, karena tidak ada kekerabatan antara Allah dan siapapun.
Hamba yang paling dicintai dan dihormati di sisi Allah adalah yang paling bertakwa dan yang paling mentaati-NYA.Wahai Jabir seseorang hamba tidak bisa mendekati Tuhannya kecuali dengan mentaati-NYA. Arti dibebaskan dari Neraka tidak ada artinya dan tidak ada satupun diantara kalian yang menjadi hujjah bagi Allah. Siapa yang ta’at itulah bagian dari kami dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah maka itu musuh kami, wilayah (kesetian) kepada kami tidak bisa dicapai kecuali dengan ketakwaan dan kewara’an.
Imam Shadiq as mengatakan,: “Syiah kami adalah ahli wara’, ahli ijtihad, penunai janji, amanah, ahli zuhud, ahli ibadah, suka sholat 51 raka’at sehari semalam, tahajud di malam hari, shaum di siang hari, membersihkan harta-harta mereka dan haji ke tanah suci.”
Dari Muhammad bin Musa Al-Mutawakil dari Ahmad bin Abdullah dari Abi Abdillah ia mengatakan,:“Tiada lain syiah Ali kecuali yang bersih perut dan kemaluannya, beramal untuk tuhannya, mengharapkan pahala dan takut kepada siksa-NYA.”
Muhammad bin Azlan mengatakan aku bersama Aba Abdillah, kemudian seseorang masuk dan mengucapkan salam. Ia ditanya bagaimana orang-orang yang engkau tinggalkan. Si lelaki yang datang tadi memuji-mujinya. Kemudian Aba Abdillah bertanya seberapa sering orang-orang kaya mereka mendatangi orang-orang miskin. Lelaki tadi menjawab sangat jarang. Kemudian ia ditanya lagi sejauhmana orang-orang kayanya menjenguk orang-orang miskin? . Lelaki tadi menjawab, :“Tuan menyebutkan sifat-sifat yang tidak dimiliki mereka.
Abu Abdillah (Imam Husain) kemudian balik mengatakan,” Kenapa pula engkau menyebut mereka sebagai syiah?” Semoga Allah swt memberi rahmat kepadanya, Seorang rawi mengatakan telah meriwayatkan kepadaku Ali Bin Husain Asyad Aabadi dari Jabir bin Ju’fi, ia mengatakan telah berkata Abu Ja’far,: “Apakah cukup yang menjadi syiah dengan hanya mengatakan cinta kepada Ahlulbait, demi Allah , tiada lain Syiah kami adalah mereka yang bertakwa kepada Allah dan mentaati-NYA, Mereka hanya dikenal dengan ketawadhuan, kekhusyu’an, menunaikan amanat, dan banyak berdzikir kepada Allah, shaum, shalat, berbuat baik kepada orang tua, baik kepada tetangga yang miskin, yang fakir, yang punya hutang, anak-anak yatim, jujur, membaca Quran, menjaga lisan kecuali dengan perkataan yang baik, Orang-orang syiah adalah amanah bagi para keluarga mereka”.
Jabir kemudian mengatakan, “Wahai putra Rasulullah saw, kami mengenal mereka tetapi tidak memiliki sifat-sifat seperti ini”. Lalu aku bertanya,”Dimana bisa kutemukan orang-orang seperti itu?” Imam menjawab, “Mereka ada di pinggiran diantara pasar-pasar Itulah mereka yang dimaksud dengan firman Allah “merendahkan hati terhadap orang-orang mukmin dan berwibawa di depan orang-orang kafir.”
*****
Hadis “Siapa yang mati sedang ia tidak mengenal imam zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” MEMBENARKAN Akidah Syi’ah tentang 12 imam zaman.
Kepemimpinan Dalam Perspektif Syi’ah dan Sunnah.
Untuk mengetahui konsep Islam tentang Imamah/Khilafah, perlu kiranya kita menganalisa poin-poin penting seputar kepemimpinan (Imamah Kubra).Definisi Imamah:
Sebelum memasuki kajian inti Imamah, perlu bagi kita mengetahui pandangan Al qur’an tentangnya, juga pandangan para teolog Islam, baik Syi’ah maupun Ahlusunnah, agar tidak terjadi kerancuan dalam mengalisa permasalahan.
Imamah Dalam Pandangan Al qur’an.
Dari ayat-ayat Al qur’yang berbicara tentang Imamah, kita dapat menyimpulkan adanya tugas-tugas yang menggambarkan hakikat Imamah itu sendiri.
Tugas-tugas tersebut ialah:
Pertama: Seorang Imam adalah panutan dan contoh praktis yang sejati yang akan memperagakan ajaran-ajaran agama, baik dalam sisi akidah, akhlak dan praktik amaliah.
Kedua: Seorang Imam adalah tempat berujuk dalam segala urusan dan masalah keagamaan. Seluruh masalah agama harus diambil darinya. Sebagaimana seluruh arahannya harus ditaati, tidak boleh dibantah dan dilanggar, sebab ia ma’shum.
Ketiga: Seorang Imam memiliki kewenangan dalam memimpin umat dalam sekala sosial, politik dan membimbing ke arah yang serasi dengan kesempurnaan kehidupan ukhrawi-nya di sisi Allah.
Keempat: Imamah ialah kewenangan dan kemampuan untuk berbuat dan memberi pengaruh pada sistem alam dengan izin Allah.
Imamah Dalam Kajian Para Teolog Islam.
Untuk mngetahui sejauh mana kesesuaian pendefinisian Imamah oleh para teolog Islam dengan pandangan Al qur’an tentang Imamah, marilah kita simak pernyataan-pernyataan mereka:
Imamah Dalam Pandangan Ahlusunnah.
Dalam pandangan Ahlusunnah, Imamah hanyalah lembaga kewenangan dalam sekala sosial politik.
Seorang Imam adalah pemimpin politik/kepala negara yang bertanggung jawab dalam mengurus umat. Oleh karenanya ia adalah urusan keduniaan dan urusan umat. Dan fungsi posisi khilafah, sebagaimana layaknya dalam masyarakat-masyarakat non Islami, adalah pengaturan politis, tidak ada kaitannya dengan fungsitasyri’iy, pemeliharaan, penafsiran dan penjabaran ajaran agama.
Dan dari sini, datang kesapakatan mereka tentang tidak disyaratkan adanya nash (penunjukan), tidak disyaratkannya kema’shuman, dan hanya cukup dengan syarat ijtihad (jika terpenuhi), dan digugurkannya syarat ini dalam menentukan legelitassyar’iy jika tidak terpenuhi, tidak disyaratkannya afdlaliyah (yang paling mulia) pada sang khalifah bahkan tetap abash kekhilafahan seorang yang mafdluul (tidak mulia) kendati ada yang lebih afdlaf.
Dan demikian pula kesepakatan mereka bahwa jika ditetapkan kekhilafahan bagi seseorang kemudian muncul seorang yang lebihafdhah, maka kekhilafahannya tetap syah dan tidak dibenarkan berpindah mengangkat yang lebih afdhal itu…
Kesepakan mereka bahwa seorang khalifah tidak gugur kekhilafahannya dengan kefasikan… Kesepakatan mereka bahwa kekhilafahan yang diperoleh dengan jalan kekerasan (memberontak) itu syah, dan begitu pula, jika ada yang memberontak lagi dan ia menang maka ia syah sebagai khalifah dan gugurlah kekhilafan khalifah sebelumnya.
Dan lain sebagainya, berupa pondasi fiqhiyah dan kalamiyah, yang kesemuanya tidak mungkin difahami kecuali atas dasar anggapan bahwa khilafah adalah lembaga yang tidak terkait dengan pembentukan umat atas dasar Islam akan tetapi terkait dengan Negara, masyarakat politis dan kebutuhan politis, pengaturan bagi masyarakat politis.
Dan karenanya, ia adalah posisi eksekutif murni, tidak terkait dengan Islam sebagai gerakan perkembangan yang dinamis dalam bidang tasyri’, tafsir, penjabaran dan pemeliharaan agama serta pengisian areal tasyri’iy netral yang dimunculkan oleh dinamika kehidupan dan adanya masalah-masalah baru yang dihadapi seorang Muslim dan masyarakat Islam dalam kehidupan.
Satu-satunya kaitan khilafah dengan Islam hanyalah bahwa Islam adalah dasar penetapannya dan ia memimpin masyarakat yang meyakini Islam sebagai agama dan ia harus memimpin berdasarkan akidah dan hukum Islam.
Sesungguhnya khilafah terkait dengan urgensi politis pengaturan dan lahir darinya, ia tidak terkait dengan ediologi dan perkembangan dinamika syari’at di tengah-tengah umat dan dunia kecuali secara sekunder atau bahkan sama sekali tidak terkait.
Dan dari sini disimpulkan bahwa legalitas dan peran seorang Khalifah lahir karena ia memegang tampuk kekuasaan, dan jika hal itu hilang darinya maka hilanglah legalitas Syar’inya.
Ibnu Khaldun berkata, “Imamah adalah posisi mengganti/mewakili Nabi dalam memelihara agama dan mengatur urusan dunia/keduniaan.”.
Imamah Dalam Pandangan Mazhab Syi’ah.
Dalam pandangan Syi’ah, imamah tidak hanya diyakini sebagai sekedar kekuasaan/kepemimpinan sosial politik seperti dalam keyakinan Ahlusunnah. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan politik adalah salah satu dari dimensi imamah, atau justru sebagai konsekuensi logis imamah itu sendiri.
Imamah menurut mereka ialah: mencakup kepemimpinan keagamaan (Marja’iyah Diniyah) dan kepemimpinan politis (Za’amah Siyasiyah), bahkan lebih dalam lagi mereka meyakini bahwa imamah adalah kewenangan dalam memberikan pengaruh dalam terjadinya fenomena-fenomena alam tertentu (dimensi Takwiniyah).
Imamah adalah Ahdullah (Janji Allah), oleh karenanya harus disandang oleh pribadi yang ma’sum dan harus melalui nash (penunjukan) dari Allah SWT.
Imamah dalam pandanga Syi’ah Imamiyah adalah jabatan keagamaan murni, dan melaluinya akan berlanjut fungsi kenabian dalam bidang tasyri’, pengawalan akidah dan syariat dari penyelewengan, pencemaran dalam penjabaran, penafsiran kaidah-kaidah dasar syari’at dan firman-firman mujmal, global.
Ia adalah jabatan yang menyamai kenabian dalam segala keistimewaan dan fungsinya kecuali dalam keistimewaan menerima wahyu.
Ia adalah jabatan yang –pada dasar dan esensinya- tidak meniscayakan adanya masyarat politis dan insan politis, akan tetapi ia meniscayakan adanya Islam itu sendiri sebagai agama dan meniscayakan adanya umat sebagai eksestensi manusiawi idiologis yang membentuk kehidupannya sesuai dengan Islam dan bukan sebagai masyarakat politis.
Fungsi Imamah Ma’shumah terkait secara mendasar dengan bidang tasyri’, bukan dengan kondisi penataan politis bagi masyarakat politis.
Oleh karenanya, fungsi Imam ma’shum secara mendasar bukanlah fungsi politis, pengaturan kedinastian.
Dan bahkan hal ini bukan merupakan esensi Imamah dan fungsinya, akan tetapi secara mendasar esensi dan fungsinya adalah ediologis tasri’iyah, dan secara sekunder adalah politis pengaturan.
Dan dari sini disyaratkannya ishmah (kemaksuman) dan afdlaliyah, seperti akan dijelaskan nanti.
Dan oleh karenanya, seorang imam ketika ia kehilangan posisi politis (sebagai kepala negara), ia tidak bererti kehilangan fungsi imamahnya dan tidak juga posisinya secara umum tergoyahkan sebab esensi imamahnya tidak ditentukan oleh kekuasaan dan ruang lingkup fungsinya juga bukan masyarakat politis dan pembuktian fungsinya tidak bergantung kepada kekuasaanya dalam memimpin negara. Akan tetapi fungsi imamahnya ditentukan oleh peran agamis tasyri’iy dan obyek fungsinya adalah umat serta pembuktiannya adalah kepemimpinannya atas umat dalam bidang tabligh dan tasyri’.
Dan dari keterangan di atas dapat dimengerti adanya perbedaan yang mendasar dan bukan hanya pada beberapa syarat saja, dalam pendangan antara Syi’ah dan Ahlusunnah, oleh kerenanya Syahid Muthahari berkata, “Kita harus tidak boleh mencampur adukkan antara masalah Imamah dan masalah kekuasaan (hukumah), lalu kita mengatakan, ‘Apa pendapat Ahlusunnah? dan apa pendapat kita (Syiah)? Akan tetapi masalah Imamah adalah masalah lain, pengertiannya menyerupai pengertian kenabian dengan kedudukan tinggi yang disandangnya. Oleh karenanya, kita kaum Syi’ah meyakini imamah sedangkan kaum Ahlusunnah tidak meyakininya sama sekali. Dan tidak dikatakan bahwa mereka meyakininya hanya saja mereka mensyaratkan syarat-syarat lain (selain yang kita syaratkan).”[Bidâyah al Ma’ârif :1\10 menukil dari Imamat Wa Rahbari ] Sumber: Jakfari.
Maka dengan demikian mengenal pendefinisian masing-masing madzab dalam hal ini adalah sebuah keniscayaan dan hal penting yang akan menghindarkan kita dari kerancuan dalam berdialog dan menentukan kesimpulan-kesimpulan yang tepat.
Dan hal inilah yang sepertinya kurang mendapat perhatian yang proporsional dari para teolog klasik yang terlibat dalam polemik dan perdebatan berkepanjangan tentang Imamah di sepanjang zaman.
Misalnya, seorang teolog syi’ah langsung terjun mengkounter pandangan Sunni yang mengatakan bahwa Imamah dapat ditegakkan lewat sistem syura, dengan sejumlah argumen bahwa Imamah harus dengan nash, tanpa terlebih dahulu menemukan kata sepaham tentang definisi Imamah itu sendiri, akhirnya diskusi itu jadi rancu dan mandul.
Yang harus kita mengerti sekarang ialah bahwa Imamah yang diyakini kaum Sunni berbeda dengan Imamah yang diyakini kaum Syi’ah, baik dalam definisi, syarat-syarat maupun tugasnya.
Apakah Imamah Ushûlddîn/Prinsip agama atau Furû’uddîn?
Pendapat Ahlusunnah:
Imamah dalam pandangan madzab Ahlusunnah bukan merupakan Ushuluddin, ia digolongkan furu’uddin dan masalah-masalah fiqih yang harus dipecahkan dengan dalil-dalil naqliah bukan aqliah. Bahkan mereka menganggapnya bukan hal penting yang harus dibicarakan dan di diskusikan.
Demikian dijelaskan oleh tokoh-tokoh teologi Ahlusunnah seperti Imam Ghazali, Al-Amidiy, Al-Taftazani dll.
Al Ghazali berkata, “Ketahuilah, bahwa meneliti masalah Imamah bukanlah hal penting dan bukan permasalahan aqliah, ia adalah masalah fiqhiyah…”.[1]
Al Amidi berkata, “Ketahuilah bahwa persoalan imamah bukanlah termasuk ushuluddin, dan bukan pula perkara yang keharusan di mana seorang mukallaf tidak dibenarkan berpaling darinya dan tidak mengerti tentangnya… .“[2]
At Taftazani berkata, “Imamah bukan termasuk Ushuluddin dan akidah, berbeda dengan Syi’ah. Akan tetapi ia menurut kita (Ahlusunnah) termasuk furuu’ yang terkait dengan tindakan para mukallaf, sebab pengangkatan imamah menurut kita wajib atas umat berdasarkan dalil naqli… .”[3]
Ibnu Ruzbahan mengatakan dalam bantahannya terhadap Allamah al-Hilli ra.,”Ketahuilah bahwa Imamah menurut kelompok Al Asy’ariyah bukan termasukUshuludiyanaat dan dasar akidah, akan tetapi ia menurut mereka adalah termasukfuruu’ yang berkaitan dengan tindakan kaum mukallaf.”[4]
Dan sepertinya pandangan mereka yang mengatakan bahwa imamah (khilafah) adalah furu’uddin dan bukan ushuluddin adalah tepat dan sesuai dengan pandangan mereka tentang definisi dan fungsi khilafah itu sendiri, sebab seperti sudah kita ketahui bahwa imamah (khilafah) dalam pandangan Ahlusunnah adalah sekedar jabatan kekuasaan (pemerintahan).
Syahid Muthahhari berkata, “Apabila masalah Imamah dalam batasan ini yaitu kekuasaan politis bagi kaum Muslim sepeninggal Nabi saw. maka jujur saja kita kaum Syi’ah menjadikannya dari bagaian dari furu’uddin dan bukan ushuluddin dan kita mengatakannya ia seperti masalah shalat, akan tetapi kita kaum Syi’ah yang menyakini Imamah tidak hanya memahamimya sebatas itu.”[5]
Dan yang perlu mendapat sorotan di sini bahwa kendati imamah dalam pandangan Ahlusunnah bukan termasuk ushuluddin, namun demikian mereka menekankan pentingnya keimanan terhadap keimamahan (kepemimpinan) para Khulafa’ bahkan terhadap keyakinan urutan keutamaan mereka sesuai dengan urutan masa kepemimpinan mereka, dan mereka menjadikannya sebagai bagian yang sangat penting dalam keyakinan Ahlusunnah.
Imam Ahmad bin Hambal (W:241H) berkata menjelaskan akidah Ahlusunnah,“Sebaik-baik umat ini setelah Nabi kita saw. adalah Abu Bakar, dan sebaik-baik setelah Abu Bakar adalah Umar, dan sebaik-baik setekah Umar adalah Utsman, dan sebaik-baik setelah Utsman adalah Ali, semoga Allah meridhai mereka. Mereka adalah para Khulafa’ yang Rasyiduun dan mendapat petunjuk.”[6]
Abu Ja’far Ath Thahawi Al Hanafi (W:321H) berkata, “Dan kami menetapkan Khilafah setelah Nabi saw. untuk Abu Bakar ash Shiddiq –sebagai pengutamaan atas seluruh umat kemudian untuk Umar ra. kemudian untuk Utsman ra. kemudian untuk Ali ra.”[7]
Abu Al Hasan Al Asy’ariy (W:330H) berkata, “Dan mereka mengakui bahwa mereka (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali_ pen.) adalah Khulafa’ Rasyiduun Mahdiyyuun semulia-mulia manusia setelah Nabi saw.”[8]
Pendapat Syi’ah Imamiyah :
Dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, Imamah -yang kita telah ketahui definisinya menurut mereka- adalah sebuah prinsip agama (Ushulluddin).
Setelah kita ketahui bersama bahwa Imamah adalah Khilafah ketuhanan yang akan menyempurnakan dan melanggengkan fungsi Nabi –selain penerimaan wahyu-, maka semua fungsi dan tugas Rasul saw.; memberikan petunjuk dan membimbing umat manusia, menuntun mereka kepada kebahagiaan dunia-akhirat, mengatur urusan manusia, menegakkan keadilan, menyingkirkan kezaliman dan kesewenang-wenangan, memelihara syari’at, menerangkan al-Kitab, menghilangkan perselisihan, mensucikan jiwa dan mendidik manusia serta lain sebagainya adalah termasuk juga tugas dan fungsi seorang Imam. Maka alasan yang menetapkan digolongkannya kenabian sebagai Ushuluddin juga alasan digolongkannya imamah sebagai ushuluddin. Dan kalau tidak maka tidak ada alasan memasukkan kenabian sebagai ushuluddin juga.
Oleh kerenanya Imamah dalam pandangan Syi’ah Imamiyah sebagai Ushuluddin dan bukan furu’uddin.
Syaikh al-Mudzaffar berkata, “Dan yang membuktikan bahwa Imamah termasuk ushuluddin adalah bahwa kedudukan Imam seperti kedudukan Nabi dalam penjagaan Syari’at, keharusan mengikutinya, dan kepemimpinannya yang umum tanpa perbedaan. Dan telah sependapat dengan kita (Syi’ah Imamiyah) bahwa ia (imamah) adalah termasuk ushuluddin sekelompok ulama selain kita seperti Qadli Al Baidhawi dalam pembahasan Al Akhbaar (berita\hadis), dan sekelompok pensyarah ucapannya seperti disebutkan oleh Sayyid yang mulia –Rahimahuallah-.”[9]
Dalil-dalil Imamah Sebagai Ushuluddin:
Ketahuilah bahwa arti ushuliddin adalah dasar-dasar agama, dan sesuatu dikatagorikan sebagai dasar agama karena ia adalah pondasi yang di atasnya agama ditegakkan. Asy Syahadatain adalah termasuk ushuluddin karena alasan di atas, sebab seorang tidak dikatakan Muslim kecuali dengannya, demikian juga dengan Imamah.
Dan yang mendasari keyakinan di atas adalah Al qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Dalil Al qur’an Ayat al Baalagh:
يا أَيّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ، وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ.
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)kamu tidak menyampaikan Risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)manusia.(QS:5;67).
Ayat di atas –setelah terbukti- turun berkaitan dengan masalah Imamah dan wilayah sepulang Nabi saw. dari haji Wada’ di Ghadir Khum setelah menyampaikan pesan terakhir tentang kepemimpinan Ali as., seperti disebutkan dalam riwayat-riwayat yang sahih yang telah diriwayatkan oleh para ulama Ahlusunnah dan juga Syi’ah, ia menunjukkan bahwa Imamah adalah dasar agama, sebab Imamah sesuai dengan petunjuk ayat di atas adalah sebuah perkara yang apabila Nabi saw. tidak menyampaikannya, maka seakan beliau tidak pernah menyampaikan agama dan Risalah Allah SWT.
Dan ini adalah bukti kuat bahwa Imamah adalah bagian yang urgen dalam kehidupan Risalah dan kenabian, maka bagaimana mungkin ia tidak termasuk Ushuluddin?!
Hadis tentang turunnya ayat di atas tentang wilayah dan Imamah Ali in Abi Thalib as. telah diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua puluh Ulama besar Ahlusunnah, di antara mereka adalah:
1. Ibnu Abi Hatim ar-Razi.[10]
2. Ahmad bin Abdur-Rahman asy-Syirazi[11].
3. Ahmad bin Musa (Ibnu Murdawaih) [12].
4. Ahmad bin Muhammad ats-Tsa’labi [13].
5. Abu Nu’aim al-Ishfahani [14].
6. Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi [15].
7. Mas’ud bin Nashir as-Sijistani [16].
8. Abdullah bin ‘Ubaidillah al-Hiskani [17].
9. Ibnu ‘Asakir ad-Dimasyqi[18].
10. Al-Fakh ar-Razi[19].
11. Jalaluddin as-Suyuthi[20].
12. Muhammad bin Thalhah asy-Syafi’i[21].
13. Ali bin Syihab al-Hamadani [22].
14. Ibnu Shabbagj al-Maliki [23].
15. Al-’Aini[24].
16. Nidzamuddin an-Nisaburi al-Qummi[25].
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa riwayat tentangnya.
Dalam tafsir Al Durr Al Mantsur disebutkan: Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: Kami di masa Rasulullah saw. membaca ayat ini:
يا أَيّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ (إن عليا مولى المؤمنين) وَ إنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ، وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ.
Dengan tambahan kata:
إن عليا مولى المؤمنين”
” (Sesungguhnya Ali adalah pemimpin kaum Mu’min) setelah kata:
“من ربك “[26].
Dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah, mereka berkata, “Allah memerintah Muhammad saw. untuk mengangkat Ali sebagai panutan bagi umat manusia dan memberitakan kepada mereka tentang wilayah (kepemimpinan)nya, maka Rasulullah saw. khawatir mereka (para sahabat) berkata (menuduh), ‘Ia (Muhammad) berkolusi dengan anak pamannya’, dan khawatir mereka mengkritik beliau dalam hal ini, maka Allah mewahyukan kepada beliau ayat di atas. Lalu beliau saw. bangkit menyampaikan wilayah Ali pada hari Ghadir Khum.”[27]
Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Rasulullah saw. diperintah untuk menyampaikan tentang kepemimpinan Ali, lalu Allah -Azza Wa Jalla- menurunkan ayat:
يا أَيّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ، وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ.
Kemudian pada hari Ghadir Khumm beliau bangkit berpidato, setelah menyampaikan puja-puji kepada Allah beliau bersabda, ‘Bukanakah saya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri?!’ Mereka menjawab, ‘Benar, wahai Rasulullah.’
Lalu beliau saw. bersabda, “Barang siapa yang aku adalah walinya maka Ali juga walinya. Ya Allah bimibnglah yang mengikuti Ali, musuhilah yang memusuhinya, cintailah yang mencintainya dan bencilah yang membencinya, muliakan yang memuliakanya dan bantulah yang membantunya.”[28]
Ayat Ikmaal ad Diin:
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا.
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu.(QS:5;3).
Ayat di atas sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat yang sahih menegaskan tentang Imamah dan Wilayah Ali as., dan tidak adanya dasar yang mengatakan sesuatu lain tentang sebab turunnya. Dan ayat ini menegaskan bahwa Imamah adalah penyempurna agama dan pelengkap bagi ni’mat Allah. Jadi bagaimana mungkin sesuatu yang dijadikan penyempurna agama tidak tergolong dasar dan pondasi (ushuul) agama?!
Dan turunnya ayat di atas dalam peristiwa pengangkatan Ali as. telah diriwayatkan oleh banyak kalangan Ulama besar Ahlusunnah, di antaranya:
1. Ibnu Murdawaih al-Isfahani.
2. Abu Nu’aim al-Isfahani.
3. Ibnu al-maghazili.
4. Al-Muwaffaq bin Ahmad al-Akhthab al-Khawarizmi.
5. Muhammad bin Ali an-Nathanzi.
6. Abu hamid mahmud bin Muhammad ash-Shalihani.
7. Ibrahim bin Muhammad al-Hamawaini.
Dalam riwayat-riwayat itu disebutkan bahwa setelah Nabi saw. memproklamasikan imamah Ali as. di Ghadir Khum, Allah menurunkan ayat di atas, lalu Nabi saw. bersabda:
الله أكْبَرُ عَلىَ إكْمَالِ الدِّيْنِ وَ إتْمَامِ النِّعْمَةِ وَ رِضَا الرَبِّ بِرِسالَتِيْ وَ الوِلاَيَةِ لِعَلِيِّ بنِ أبِيْ طَالِبٍ.
Maha besar Allah atas penyempurnaan agama dan pelengkapan ni’mat dan kerelaan Tuhan terhadap Risalahku serta wilayah (kepemimpinan) Ali[29].
Dan selain dua ayat di atas masih banyak ayat lain yang juga menunjukkan bahwa Imamah adalah termasuk dasar agama.
Dalil Sunnah :
Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa barang siapa mati dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya maka ia mati jahiliyah. Maka kalau Imamah bukan hal penting dan termasuk Ushuluddin mengapakah keharusan mengenal imam dianggap begitu penting sehingga yang tidak mengenal imam digolongkan mati jahiliyyah.
Nabi saw. bersabda :
َمَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ ِامَامَ زَماَنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيّةً
Siapa yang mati sedang ia tidak mengenal imam zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah[30].
Hadis di atas telah disepakati kesahihannya, baik oleh Ahlusunnah wal Jama’ah maupun Syi’ah.
Syeikh M. Hasan Al Mudzaffar ra. berkata menjelaskan dalil bahwa Imamah termasuk ushuluddin, “Di antaranya adalah riwayat-riwayat yang banyak yang menunjukkan bahwa barang siapa mati tanpa Imam maka ia mati jahiliyah dan lain sebagainya, maka berarti ia termasuk ushuluddin, seperti riwayat Muslim dalam babAl Amr bi Luzuumi Al Jama’ah, pada kitab Al Imaarah dari Ibnu Umar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يومَ القِيامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ, وَ مَن ماتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَات مِيْتَةً جاهِلِيَّةً.
Barang siapa melepas tangan dari keta’atan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki bukti, dan barang siapa mati sedang dilehernya tidak ada ikatan bai’at maka ia mati jahiliyah.
Dan seperti riwayat Muslim juga pada bab yang sama, dan Bukhari dalam bab kedua pada kitab al-Fitan:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَتَةً جَاهلِيِةَّ.ً
Barang siapa tidak menyukai dari Amirnya sesuatu hendaknya ia bersabar atasnya, kerena barang siapa keluar (memberontak) dari penguasa barang sejengkal ia mati jahiliyah.
Dan seperti riwayat Ahmad, ia berkata, “Bersabda Rasulullah saw.:
من مات بِغَيْرِ إمامٍ مَاتَ مِيْتَتَةً جَاهلِيِةَّ.ً
Darang siapa mati tanpa imam ia mati jahiliyah.
Dan lain sebagainya.[31]
Referensi:
[1] Al Mawaqif :395 .
[2] Ghayah al-Maram Fi ‘Ilmi al-kalam :363.
[3] Syarh al-Mawaqif,8\344 .
[4] Ibthaal Nahjil Bathil (lihat: Dala’il ash Shidq,2\8) .
[5]Sayyid Muhsin al Kharrazi, Bidayah Al Ma’arif Al Ilahiyah,2/16 menukil dari Imamat Wa Rahbari: 50-51.
[6] Abhâts Fi al-Milal wa an-Nihal :1\255 menukil dari Kitab as-Sunnah karya Ahmad bin Hambal .
[7] Ibid. Menukil dari Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah :478-488.
[8] Maqalaat al-Islamiyyin :323 .
[9] Dala’il ash-Shidq :2\14 .
[10] Lihat : ad Durr al-Mantsuur :2\298 .
[11] Lihat : al Manaqib dan Bihar al Anwâr :37\155 .
[12] Lihat: ad Durr al Mantsuur :2\198 .
[13] Al Kasyfu wa al Bayaan (Nafahât al Azhâr :8\207-208 ).
[14] Lihat : Ma Nazala Min al-Qur’an Fi Aki as. :86 .
[15] Asbaab an-Nuzûl :135 .
[16] Lihat Nafahât :8\215.
[17] Syawahid at Tanzîl :1\187-188 .
[18] Tarikh Damaskus :2\86 .
[19] Tafsir al-Kabir ;12\49 ,dan ia mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibvnu Abbas ,baraa’ ibn ‘Azib dan Imama Muhammad al-Baqir as.
[20] Tafsir ad-Durr al-mantsur 2\298 .
[21]Mathalib as-Su;ul :44 .
[22] Al-Mawaddah Fi al-Qurbaa (lihat :Yanabi’ al-mawaddah :249).
[23] Al-Fushuul al-Muhimmah :42 .
[24] ‘Umdat al-qaari – Syarah al-Bukhari :18\206 .
[25] Tafsir an-Nisaburi :6\129-130 .
[26] Ad-Durr al-Mantsur :2\298 .Penulis berkata an adanya tambahan ini tidak berarti telah terjadi perubahan (tahrif) pada kitab suci Al-Qur’an sebab ia bukan ayat Al-Qur’an ,ia hanya sebagai tafsiran yang mereka dengan dari Nabi saww. atau yang mereka fahami berdasarkan kondisi sebab nuzul ayat ,dan hal seperti itu banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat para shahabat .
[27] Syawahid at-Tanzil :1\187.
[28] Hadis riwatar Abu Sa’id as-Sijistani dalam kitab beliau tentang hadis al-Wilayah, lebih lanjut lihat Nafahat al-Azhaar,8\215 .
[29] Manaqib Ali bin Abi Thalib ( al-Khawarizmi):80 dan Faraid as-Simthain (Al-Hamawaini) :1\74
[30] Hadis di atas dan hadis-hadis mengandung makna serupa seperti yang disebut Syeikh Al Mudzaffar dapat Anda jumpai dalam banyak kitab-kitab mu’tabarah para ulama Ahlusunnah, di antaranya:
1. Shahih Bukhari, bab al Fitan,5/13.
2. Shahih Muslim,6/21-22 hadis1849.
3. Musnad Ahmad,2/83, 3/446 dan 4/96.
4. Shahih Ibn Hibban,6/49 hadis 4554.
5. Al Mu’jam Al Kabir; Al Thabarani,10/350 hadis 10687.
6. Mustadrak; Al Hakim,1/77.
7. Hilyatul Awliyaa’,3/224.
8. Jaami’ Al Ushuul; Ibn Al Atsiir Al Jazari,4/7.
9. Musnad Ath Thayalisi:259.
10. Al Kuna wa Al Alqaab,2/3.
11. Sunan Al Baihaqi,8/156 dan 157.
12. Al Mabshuuth; Al Sarkhasi,1/113.
13. Syarah Nahj Al Balaghah; Ibn Abi Al Hadid,9/155.
14. Syarah Muslim; Al Nawawi,12/44.
15. Talkhis Al Mustadrak; Al Dzahabi,1/77 dan177.
16. Tafsir Ibn Katsir,1/517.
17. Syarh Al Maqashid,2/275.
18. Majma’ al Zawaid,5/218,219,223 dan312.
19. Kanz Al Ummal,3/200.
20. Taisiir Al Wushuul,2/39.
21. dll.
[31] Dalail ash-Shidq :2\12.
Konsep Imamah dan Wilayah Dalam Syi’ah
Pokok masalah pembahasan kita sekarang adalah “imamah”. Kami tahu bahwa bagi kami, kaum Syiah, imamah luar biasa penting, sementara mazhab lain kaum Muslim tidak memandang sedemikian penting. Alasannya adalah konsepsi imamah kami beda dengan konsepsi imamah mazhab lain. Tak syak lagi, ada kesamaannya juga, namun yang memandang luar biasa penting terhadap imamah hanyalah kaum Syiah. Misal, ketika kami, kaum Syiah, ingin menguraikan prinsip-prinsip pokok agama menurut ajaran Syiah, kami katakan bahwa prinsip-prinsip ini adalah Tauhid, Kenabian, Keadilan Ilahi, Imamah dan Akhirat. Kami memandang imamah sebagai prinsip pokok agama. Sedikit banyak, kaum Sunni juga tidak sama sekali menolak imamah. Namun menurut keyakinan mereka, imamah bukan prinsip pokok agama .
Mereka memandang imamah hanya sebagai masalah tambahan. Sesungguhnya ada perbedaan pendapat yang mendasar mengenai imamah. Kami mempercayai imamah seperti ini, sedangkan kaum Sunni mempercayai imamah yang lain. Alasan kenapa kaum Syiah memandang imamah sebagai prinsip pokok agama, sedangkan kaum Sunni memandangnya sebagai masalah tambahan, adalah konsepsi Syiah mengenai Imamah beda sekali dengan konsepsi imamah Sunni.
Makna Imam.
Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata “imam” dalam bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur’an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu. Di saui tcmpat Al-Qur’an mengatakan:
Kami tunjuk mereka sebagai Imam yang memberikan panduan dengan izin Kami. (QS. al-Anbiyâ': 73)
Di tempat lain dikatakan:
Imam-imam yang mengajak orang ke neraka. (QS. al-Qashash: 41).
Mengenai Fir’aun, Al-Qur’an menggunakan frase yang mengandung arti yang sama dengan arti imam atau pemimpin. Dikatakan:
Pada Hari Pengadilan dia akan membawa kaumnya ke api neraka. (QS. Hûd: 98).
Dengan demikian, secara harfiah arti imam adalah pemimpin. Namun sekarang perhatian kami bukan pada pemimpin yang jahat. Baiklah sekarang kami bahas konsepsi imamah. Kata “imamah” berlaku untuk beberapa kasus. Beberapa konsep imamah diakui oleh kaum Sunni juga. Namun mereka berbeda dengan kami mengenai siapa imam itu dan bagaimana kualitasnya. Mereka sama sekali tidak mempercayai konsep-konsep imamah tertentu. Mereka tidak mempercayai imamah dalam arti seperti yang kami percayai. Mereka tidak sepakat dengan orang yang mengemban jabatan ini. Imamah versi mereka tak lain adalah pemimpin sosial, dan dalam arti seperti inilah kata ini digunakah dalam buku-buku teolog akademis lama.
Khâja Nasiruddin Tusi, dalam “at-Tajrid”, mendefinisikan imamah sebagai kewajiban umum masyarakat. Di sini perlu juga disebutkan poin lain:
Beragam Aspek Nabi.
Nabi saw, dalam masa hidupnya karena khusus posisinya dalam Islam, memiliki beberapa aspek seperti ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan riwayat hidupnya. Pada saat yang sama Nabi memiliki beberapa jabatan. Dia adalah seorang Nabi Allah, dan dalam kapasitas ini dia menyampaikan risalah dan perintah Allah kepada umat manusia. Al-Qur’an mengatakan:
Apa saja yang diberikan Rasul, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah. (QS. al-Hasyr: 7).
Dengan kata lain, apa saja petunjuk dan perintah yang diberikan Nabi saw kepada umat manusia, maka itu diberikannya atas nama Allah. Dari sudut pandang ini, Nabi saw hanya menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jabatan lain Nabi saw adalah hakim agung, karena itu Nabi melaksanakan keadilan di tengah kaum Muslim. Menurut Islam, setiap orang tidak bisa menjadi hakim, karena dari sudut pandang Islam, memutuskan perkara adalah urusan Allah. Allah menyuruh keadilan, dan hakim adalah orang yang melaksanakan keadilan kalau terjadi perselisihan. Jabatan ini juga dengan jelas diberikan kepada Nabi saw oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengatakan:
Demi Tuhanmu, mereka tak akan mempercayai kebenaran sampai mereka menjadikanmu hakim untuk apa yang mereka perselmhkan dan menerima apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk kepada keputusanmu dengan sepenuh hati. (QS. an-Nisâ': 65).
Nabi saw diangkat menjadi hakim oleh Allah. Karena itu, jabatan hakim ini bukanlah jabatan biasa, melainkan Jabatan ilahiah. Praktisnya dia juga Nabi-hakim. Jabatan ketiga yang resmi diemban Nabi saw dan jabatan ini diberikan kepadanya oleh Al-Qur’an adalah jabatan sebagai kepala negara. Dia adalah kepala negara dan pemimpin masyarakat Muslim. Dengan kata lain, dalam masyarakat Muslim dia adalah pembuat kebijakan dan orang yang memiliki kemampuan memerintah dengan baik. Diyakini bahwa aspek ini, yang terdapat dalam diri Nabi saw, yang digambarkan oleh ayat Al-Qur’an,
Wahai Orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin-pernimpin (kompeten)-mu. (QS. an-Nisâ': 59).
Sesungguhnya tiga jabatan yang diemban Nabi saw bukan sekadar jabatan formal atau seremonial. Petunjuk dan perintah yang kita terima darinya pada dasarnya ada tiga macam:
(1) Macam pertama berupa wahyu Allah. Mengenai wahyu Allah ini Nabi saw tak dapat berbuat atas inisiatifnya sendiri. Fungsi satu-satunya adalah menyampaikan kepada umat manusia wahyu yang diturunkan kepadanya.
(2) Petunjuk dan perintah agama. Misal, Nabi mengajarkan bagaimana salat dan berpuasa. Namun ketika dia melaksanakan keadilan, maka keputusannya bukan keputusan wahyu. Kalau terjadi perselisihan antara dua orang, maka Nabi memutuskan perkaranya berdasarkan standar Islam, dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal seperti ini, Jibril tidak turun membawa wahyu untuknya. Kalau untuk kasus-kasus luar biasa, masalahnya lain. Pada umumnya Nabi saw memutuskan semua perkara hukum berdasarkan bukti yang ada, persis seperti yang dilakukan orang lain. Paling banter dapat dikatakan bahwa keputusannya lebih baik dibanding keputusan orang lain. Nabi sendiri mengatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk menyampaikan pendapat berdasarkan apa yang tampaknya masuk akal. Misal ada penggugat dan tergugat, dan penggugat mengajukan dua saksi yang tak tercela. Nabi akan memutuskan perkara ini berdasarkan bukti mereka. Jadi, keputusan ini akan merupakan keputusan Nabi sendiri, dan bukan keputusan yang diwahyukan kepadanya.
(3) Dalam kapasitas ketiga ini, ketika Nabi saw memberikan perintah sebagai pemimpin masyarakat, sifat perintahnya ini beda dengan sifat apa yang disampaikannya sebagai wahyu Allah. Allah mengangkat Nabi sebagai pemimpin masyarakat. Dalam kapasitas ini Nabi terkadang bermusyawarah. Kita tahu bahwa Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya pada waktu Perang Badar dan Uhud dan pada banyak kesempatan lainnya. Tampaknya tak ada musyawarah mengenai perintah wahyu Tuhan.
Nabi tak pernah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya mengenai bagaimana bersembahyang maghrib. Kalau ada masalah-masalah tertentu yang ditanyakan kepada Nabi, sementara Allah memerintahkan begini, maka Nabi harus mengikuti perintah-Nya. Namun untuk masalah-masalah yang tak ada ketentuan ilahiahnya, Nabi sering berkonsultasi dengan sahabat untuk meminta pendapatnya. Kalau dalam kasus-kasus seperti ini Nabi mengeluarkan ketentuan, ini dilakukannya karena Nabi mendapat wewenang dari Allah untuk melakukan demikian. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan manajemen sosial, memang Nabi juga menerima wahyu, namun ini merupakan kasus yang luar biasa. Biasanya Nabi tidak menerima petunjuk terperinci mengenai masalah-masalah sosial-politik, dan mengenai masalah-masalah ini Nabi tidak bcrtindak sebagai rasul semata. Fakta yang tak dapat dipungkiri moniuijukkan bahwa Nabi, dalam semua kapasitas ini, bekerja simuhan.
Imamah dalam Arti Pemimpin Masyarakat.
Makna pertama imamah seperti disebutkan di atas adalah mgas umum masyarakat. Salah satu jabatan Nabi yang kosong begini Nabi wafat adalah kepemimpinan masyarakat. Jelas, masyarakat butuh pemimpin. Siapa pemimpin masyarakat sepeninggal Nabi? Baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa masyarakat membutuhkan pemimpin dan panglima tertinggi. Di sinilah timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya Imam Alilah yang memegang kendali urusan kaum Muslim. Kaum Sunni yang logika lain tidak menerima pandangan ini setidak-tidaknya dalam bentuk yang diterima kaum Syiah. Menurut kaum Sunni, Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai penerusnya, dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum Sunni menerima prinsip Imamah ketika mereka mengatakan bahwa kaum Muslim membutuhkan pemimpin. Yang mereka katakan adalah bahwa pemimpin dipilih oleh kaum Muslim. Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Nabi sendirilah yang menunjuk penerusnya berdasarkan wahyu Allah.
Kalau saja masalah imamah sekadar masalah kepemimpinan politik sepeninggal Nabi, kami, kaum Syiah, tentu tak akan menganggap imamah sebagai prinsip pokok agama, dan tentu pas kalau menggolongkan masalah ini sebagai masalah tambahan. Dapat kami katakan bahwa masalah imamah yang dipercaya kaum Syiah sekadar mendeklarasikan bahwa Imam Ali as adalah salah seorang sahabat Nabi saw seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan banyak lainnya atau bahkan seperti Abu Dzar dan Salman, namun Imam Ali as lebih baik, lebih berilmu, lebih takwa dan lebih mampu dibanding sahabat-sahabat lain dan bahwa Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya. Namun kaum Syiah tidak berhenti di sini saja. Mereka mempercayai dua ajaran yang tak ada di kaum Sunni. Salah satunya adalah imamah dalam arti otoritas keagamaan.
Imamah dalam Arti Otoritas Keagamaan.
Telah kami kemukakan bahwa Nabi saw menyampaikan wahyu Allah SWT yang diterimanya kepada orang yang bebas bertanya kepada Nabi apa saja yang ingin diketahuinya tentang ajaran Islam. Orang juga bertanya kepada Nabi tentang apa yang tak didapati mereka dalam Al-Qur’an. Sekarang pertanyaannya adalah apakah isi Al-Qur’an dan apa yang telah disampaikan Nabi kepada khalayak umum adalah apa yang diinginkan Islam, yaitu menyampaikan petunjuk, ajaran dan pengetahuan Islam? Karena itu, Nabi saw mendidik Imam Ali as, penerusnya, sebagai pakar luar biasa, dan mengajarkan kepada Imam Ali as scgalanya tentang Islam, setidak-tidaknya semua prinsip dan norma umum Islam. Imam Ali as adalah sahabat Nabi yang paling mencolok keunggulannya. Dia maksum seperti Nabi saw, Dia bahkan tahu apa yang disiratkan oleh Allah SWT.
Nabi saw bersabda ketika memperkenalkan Imam Ali as:
“Sepeninggalku, bawalah semua masalah keagamaan kepada Ali, tanyakan kepada Ali dan penerus-penerusku yang lain apa saja yang ingin kalian ketahui.”.
Dalam hal ini, imamah merupakan spesialisasi dalam Islam, suatu spesialisasi yang luar biasa dan ilahiah, yang jauh di atas derajat spesialisasi yang dapat dicapai mujtahid. Para imam adalah pakar dalam Islam. Pengetahuan istimewa mereka mengenai Islam bukan didapat dari akal pikiran mereka sendiri yang bisa saja salah. Mereka menerima pengetahuan dengan cara yang tak kita ketahui. Imam Ali as menerima pengetahuan tentang ilmu-ilmu Islam langsung dari Nabi saw. Dan Imam-imam berikutnya menerimanya melalui Imam Ali bin Abi Thalib as. Dalam kasus imam-imam, pengetahuan ini tak mengandung kekeliruan. Pengetahuan ini diturunkan dari satu imam ke imam yang lain.
Kaum Sunni tak percaya adanya orang yang berposisi seperti itu. Dengan kata lain, kaum Sunni tidak mempercayai adanya imam dalam pengertian seperti ini. Kaum Sunni mengatakan bahwa, alih-alih Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar adalah Imam. Mereka tidak mengakui bahwa sahabat Nabi, tidak Abu Bakar, tidak Umar, tidak Utsman, memegang jabatan seperti itu. Itulah sebabnya mereka menganggap begitu banyak kekeliruan dalam masalah keagamaan berasal dari Abu Bakar dan Umar. Sebaliknya, kaum Syiah percaya imam-imam mereka maksum, dan tak akan pernah mengakui bahwa imam-imam mereka pernah berbuat keliru. Namun kaum Sunni, dalam buku-buku mereka, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah mengatakan begini, namun dia salah. Ketika menyadari kekeliruannya, dia berkata bahwa ada setan yang selalu mengalahkannya. Kaum Sunni juga mengatakan bahwa Umar pernah berbuat keliru, dan kemudian, dengan menyebut-nyebut wanita-wanita tertentu, menyatakan bahwa wanita-wanita itu lebih alim dibanding dirinya.
Konon ketika Abu Bakar meninggal, anggota keluarganya yang wanita, termasuk putrinya, Aisyah, istri Nabi saw, menangis. Ketika Umar mendengar ratapan mereka, Umar mengirim pcsan kepada mereka agar diam, namun mereka tidak memenuhi pcrmintaan Umar. Umar mengirim pesan lagi dan kemudian mengancam akan menghukum mereka. Akhirnya Aisyah diberitahu oleh beberapa wanita bahwa Umar mengancam kalau mereka tak mau diam. Aisyah menyuruh memanggil Umar. Ketika Umar datang, Aisyah menanyakan apa yang diinginkan dikatakan Umar dan kenapa Umar mengirim pesan demi pesan. Umar mengatakan mendengar Nabi saw bersabda:
“Kalau ada orang meninggal, lalu anggota keluarganya menangisinya, maka orang yang meninggal tersebut akan mendapat hukuman.” Aisyah berkata, “Anda tidak mengerti. Anda salah. Masalahnya bukan begitu. Aku tahu bagaimana itu. Ketika seorang Yahudi yang jahat meninggal, keluarganya menangisinya. Nabi saw bersabda bahwa mereka menangis dan dia dihukum. Nabi saw tidak mengatakan bahwa dia dihukum karena mereka menangis. Nabi saw mengatakan bahwa mereka menangisinya, namun mereka tidak tahu bahwa dia tengah dihukum. Bagaimana hubungannya dengan masalah ini? Meskipun menangis dilarang, kenapa Allah harus menghukum orang tak berdosa karena dosa yang kita lakukan?” “Aneh”, kata Umar. “Begitukah?” “Ya,” kata Aisyah, “begitulah.” Umar pun berkata, “Seandainya wanita-wanita ini tak ada, Umar akan celaka.”
Kaum Sunni sendiri mengatakan bahwa tujuh puluh (sangat banyak) kali Umar berkata, “Kalau tak ada Ali, Umar akan celaka.” Umar sendiri berkali-kali mengakui bahwa Ali sering meluruskan kesalahan-kesalahannya, dan Umar biasa mengakui kesalahannya. Pendek kata, kaum Sunni tidak mempercayai imam dalam pengertian seperti yang kami yakini. Namun fakta yang tak terpungkiri menunjukkan bahwa Nabi sajalah yang menerima wahyu samawi. Kami tidak mengatakan bahwa para imam juga menerima wahyu. Risalah Islam disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi saja, dan kepada Nabi saja Allah menurunkan ajaran-ajaran penting Islam. Tak ada ajaran dan ketentuan Islam yang tidak diwahyukan kepada Nabi.
Namun pertanyaan apakah semua ajaran Islam disampaikan kepada seluruh manusia, lain masalahnya. Kaum Sunni mengatakan bahwa Nabi menyampaikan semua ajaran Islam kepada sahabat-sahabatnya. Namun kaum Sunni berada dalam dilema ketika menghadapi problem yang tak ada riwayatnya dari sahabat Nabi. Untuk memecahkan situasi ini, kaum, Sunni mengemukakan hukum analogi, dengan hukum analogi ini mereka mengaku melengkapi apa yang tak ada. Dalam hubungan ini Imam Ali as berkata, “Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa agama Allah tidak lengkap, dan Andalah yang melengkapinya?” (Nahj al-Balâghah, khotbah 18).
Kaum Syiah justru mengatakan bahwa Allah SWT menurunkan ajaran Islam dengan lengkap kepada Nabi saw, dan Nabi saw menyampaikannya dengan lengkap kepada umat manusia. Nabi saw menyampaikannya dengan lengkap, namun Nabi saw tidak menyebutkan segala sesuatunya kepada manusia pada umumnya. Sesungguhnya banyak pertanyaan diajukan selama hayat Nabi saw. Namun, Nabi saw menyampaikah semua ajaran yang diterimanya dari Allah kepada murid istimewanya, Imam Ali bin Abi Thalib as, dan meminta Imam Ali as untuk menyampaikannya kepada masyarakat bila diperlukan.
Di sinilah muncul masalah kemaksuman. Kaum Syiah mengatakan bahwa karena Nabi saw, sengaja atau tidak, tak mungkin salah bicara, murid istimewanya pun tak mungkin salah, karena Nabi saw mendapat pertolongan dari Allah SWT, murid istimewa ini pun mendapat pertolongan dari Allah SWT. Inilah satu lagi karakter imamah.
Imamah dalam Arti Wilayah.
Ini merupakan arti ketiga imamah, dan sungguh artinya yang paling tinggi. Dalam ajaran Syiah, pengertian seperti ini sangat dititikberatkan. Sedikit banyak, wilayah merupakan titik kesamaan antara Syiah dan tasawuf. Namun kalau kami kata demikian, jangan salah paham, karena mungkin Anda mendapati apa yang dikatakan kaum orientalis mengenai hal ini. Mereka mengatakan bahwa wilayah adalah masalah yang sangat mendapat perhatian kaum sufi dan mendapat perhatian kaum Syiah juga sejak masa awal Islam. Saya ingat bahwa sekitar sepuluh tahun silam seorang orientalis mewawancarai Allamah Thabathaba’i. Salah satu pertanyaan yang diajukannya adalah apakah Syiah mengambil konsepsi wilayah dari kaum sufi, atau kaum sufi mengambilnya dari Syiah. Faktanya adalah doktrin wilayah sudah ada di kalangan Syiah ketika belum ada tasawuf. Kalau saja terjadi pengambilan dari yang satu oleh yang lain, maka harus dikatakan bahwa kaum sufilah yang mengambilnya dari Syiah. Masalah wilayah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan penguasa zaman. Kaum sufi sangat menekankan poin ini.
Maulawi mengatakan bahwa di setiap masa ada seorang wali, qa’im (penguasa zaman). Di setiap masa ada seorang manusia sempurna yang memiliki semua keunggulan manusiawi. Tak ada zaman yang tak ada wall sempurnanya, yang sering digambarkan sebagai quthb (poros, otoritas). Kaum sufi percaya bahwa wall sempurna adalah juga manusia sempurna. Mereka menganggap wall sempurna memiliki banyakjabatan, sebagiannya tak dapat kita mengerti, Salah satu jabatannya adalah mengendalikan hati manusia, dalam pengertian bahwa dia adalah roh universal yang mengungguli semua roh. Maulawi secara tidak langsung menyebut jabatan ini dalam kisahnya tentang Ibrahim bin Adham. Kisah ini tak lebih dari cerita fiksi belaka. Namun Maulawi bercerita untuk menjelaskan apa yang dimaksudnya. Dia bercerita hanya untuk menekankan. maksudnya. Maulawi mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke sungai, kemudian melemparkan jarum ke sungai itu. Lalu dia menginginkan kembalinya jarum itu. Ikan-ikan pada menyembulkan kepalanya dari sungai, masing-masing membawa satu jarum di mulutnya. Maulawi selanjutnya mengatakan, “Wahai yang tak memiliki kemampuan, perhatikan hati Anda di hadapan mereka yang memiliki sifat-sifat unggul hati.”.
Selanjutnya dia mengatakan, “Syaikh (pemandu spiritual) itu jadi sadar akan apa yang ada di hati orang. Syaikh bisa tahu itu karena dirinya bagaikan singa, sedangkan hati orang bagaikan sarangnya”.
Syiah pada umumnya menggunakan kata wilayah dalam artinya yang paling tinggi. Mereka percaya bahwa wali dan imam adalah penguasa zaman, dan selalu ada seorang manusia sempurna di dunia ini. Dalam kebanyakan ziyarah (penghormatan) yang kami baca, kami mengakui eksistensi wilayah dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh universal. Dalam ziyarah itu, yang kami baca dan kami anggap sebagai bagian dari ajaran Syiah, kami mengatakan, “Aku memberikan kesaksian bahwa engkau melihat di mana aku berada; engkau mendengar perkataanku dan membalas salamku.” Perlu dicatat bahwa kami sampaikan itu kepada seorang imam yang telah wafat. Dari sudut pandang kami, dalam hal ini tak ada bedanya antara imam yang telah wafat dan imam yang masih hidup. Kami katakan, “Salam atasmu, Ali bin Musa ar-Ridha. Aku menyadari dan memberikan kesaksian bahwa engkau mendengar dan membalas salamku.”.
Kaum Sunni, kecuali kaum Wahabi, percaya bahwa Nabi saw saja yang memiliki kualitas mengetahui dan mendengar ini. Menurut mereka, di dunia ini tak ada lagi yang memiliki status spiritual yang tinggi seperti itu dan persepsi spiritual seperti itu. Namun kami, kaum Syiah, percaya bahwa posisi ini dimiliki oleh imam-imam kami. Kepercayaan ini merupakan bagian dari prinsip agama kami, dan kami selalu mengakuinya.
Pendek kata, masalah imamah ada tiga derajatnya, dan kalau kami tidak membedakan ketiga derajat ini, kami akan menghadapi kesulitan berkenaan dengan pengambilan kesimpulan tertentu dalam hubungan ini. Berdasarkan ketiga derajat ini, ada tiga kelompok dalam Syiah. Mereka mengatakan bahwa Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai pemimpin masyarakat sepeninggalnya, dan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman tak dapat mengklaim posisi ini. Orang-orang seperti ini menjadi Syiah hanya sebatas ini saja. Mereka tidak mempercayai dua derajat selanjutnya, atau bungkam tentang dua derajat ini. Sebagian lainnya mempercayai derajat kedua meski tidak mempercayai derajat ketiga. Konon almarhum Muhammad Baqir Durchal, guru Ayatullah Burujerdi di Isfahan, tak mempercayai derajat ketiga ini. Namun mayoritas Syiah dan ulama Syiah mempercayai derajat ketiga juga.
Kalau mau membahas imamah, maka harus dibahasnya dalam tiga tahap; imamah menurut Al-Qur’an, imamah menurut hadis, dan imamah menurut akal. Pertama-tama man kita lihat apakah ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan imamah menunjukkan arti imamah seperti yang diyakini kaum Syiah. Dan jika begitu, apakah menunjukkan imamah dalam pengertian kepemimpinan politik dan sosial saja, ataukah dalam pengertian otoritas keagamaan dan wilayah spiritual juga. Setelah ini dijelaskan, baru kita lihat apa yang dikatakan hadis-hadis Nabi mengenai imamah. Akhirnya kita analisis imamah dari sudut pandang akal, dan kita lihat apa yang dikatakan akal mengenai tahap-tahapnya itu. Apakah pandangan Sunni yang menyebutkan bahwa penerus Nabi harus dipilih oleh umat lebih masuk akal, atau apakah merupakan fakta kalau Nabi sendiri telah mengangkat penerusnya? Begitu juga, apa yang sesuai dengan akal berkenaan dengan dua lagi arti imamah.
Hadis Imamah.
Sebelum mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an tentang imamah, kami ingin mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syiah dan Sunni. Biasanya hadis yang sama-sama disepakati oleh Syiah dan Sunni tak dapat diabaikan, karena kesepakatan ini menunjukkan bahwa hadis itu autentik, sekalipun susunan katanya bisa saja berbeda dalam beragam riwayat. Kami, kaum Syiah, biasanya meriwayatkan hadis ini seperti ini: “Barangsiapa mati sementara tidak mengenal imam zamannya, maka dia mati jahiliah.” Kata-kata ini sangat serius, karena pada periode jahiliah orang tidak mempercayai keesaan Allah (tauhid) dan juga tidak mempercayai kenabian. Hadis ini terdapat di sebagian besar kitab hadis Syiah, termasuk “al-Kâfî” yang dianggap sebagai koleksi hadis Syiah paling andal. Fakta pentingnya adalah hadis ini juga terdapat dalam kitab-kitab Sunni. Menurut satu riwayat mereka menyebut susunan kata “Barangsiapa mati tanpa imam, maka matinya mati jahiliah.” Susunan kata lainnya adalah “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka matinya mati jahiliah.” Teks lain mengatakan, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berimam, maka matinya mati jahiliah.” Ada beberapa versi lain, dan itu menunjukkan betapa Nabi saw memandang sangat pending masalah imamah.
Mereka yang menerima imamah hanya dalam pengertian kepemimpinan sosial mengatakan bahwa Nabi saw memandang sangat penting masalah kepemimpinan karena hukum Islam baru dapat dilaksanakan kalau ada pemimpin yang bajik dan kesetiaan kuat umat kepadanya. Islam bukanlah agama individualistik. Tak ada yang dapat mengatakan bahwa karena dia mempercayai Allah dan Nabi-Nya, maka dia tak ada hubungannya dengan orang lain. Setiap orang harus tahu dan mengerti siapa imam pada masanya, dan harus beraktivitas di bawah naungan kepemimpinannya.
Mereka yang menerima imamah dalam pengertian otoritas keagamaan mengatakan bahwa barangsiapa memperhatikan agamanya, maka dia harus mengenal otoritas keagamaannya, dan harus tahu siapa yang harus diikutinya dalam masalah agama. Mutlak tidak Islami kalau mempercayai agama namun mendapatkan agama dari sumber yang bertentangan dengan agama itu sendiri.
Mereka yang menerima imamah dalam pengertian wilayah spiritual mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa orang yang tidak di bawah perwalian wali yang sempurna, maka dia seperti orang yang mati pada masa jahiliah. Karena hadis ini mutawatir (diriwayatkan oleh rangkaian otoritas yang banyak jumlahnya), maka kami sebudcan hadis ini dahulu untuk pegangan dalam pembahasan lebih lanjut masalah imamah. Kini man kita lihat ayat-ayat Al-Qur’an.
Imamah dalam Al-Qur’an.
Beberapa ayat Al-Qur’an dikutip oleh kaum Syiah berkaitan dengan imamah. Salah satunya diawali dengan kata-kata, “Walimu hanyalah Allah.” Dalam semua kasus ini ada hadis-hadis Sunni yang mendukung sudut pandang Syiah. Bunyi ayat ini adalah:
Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55).
Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah wait yang artinya wali. Karena itu wilayah artinya perwalian. Menurut ajaran Islam, zakat tidak dibayar sembari rukuk. Karena itu membayar zakat sembari rukuk tak dapat disebut prinsip atau norma umum yang berlaku untuk banyak orang. Ayat ini berkenaan dengan satu peristiwa yang terjadi hanya sekali. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Syiah maupun Sunni. Imam Ali as tengah rukuk ketika seorang peminta-minta datang meminta sedekah. Imam Ali as memberi isyarat dan menarik perhatiannya dengan jarinya. Si peminta-minta segera mengambil cincin Imam Ali as dari jarinya, lalu pergi. Dengan kata lain, Imam Ali as tidak menunggu sampai salatnya selesai. Imam Ali as begitu luar biasa sehingga dalam keadaan tengah salat pun Imam dengan isyarat menyuruh si peminta-minta untuk mengambil cincin di jari Imam, menjualnya dan menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Baik kaum Syiah maupun Sunni sepakat bahwa Imam Ali as berbuat demikian, dan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ini. Dapat dicatat bahwa bersedekah dalam keadaan tengah rukuk tidak termasuk dalam ajaran Islam. Bukan wajib dan bukan pula dianjurkan. Karena itu tak dapat dikatakan bahwa beberapa orang melakukan demikian. Karena itu (mereka yang berbuat demikian) jelaslah yang dimaksud adalah Imam Ali as. Di beberapa tempat Al-Qur’an menggunakan ungkapan “mereka mengatakan…”, padahal hal itu diucapkan oleh hanya satu orang. Di sini juga “mereka yang berbuat demikian” artinya adalah si individu yang berbuat demikian. Karena itu melalui ayat ini Imam Ali as diangkat menjadi wali umat Muslim. Namun demikian, ayat ini perlu dibahas lebih lanjut, dan pembahasannya nanti. Ada ayat-ayat lain berkenaan dengan peristiwa Ghadir. Peristiwa ini sendiri merupakan bagian dari tradisi Islam. Ini akan dibahas nanti. Salah satu ayat tersebut, yang turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir, berbunyi:
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika tidak, kamu berarti tidak menyampaikan risalah-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 67).
Nada ayat ini sama seriusnya dengan nada hadis, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya mati jahiliah.” Singkatnya dapat dikatakan bahwa ayat itu sendiri menunjukkan bahwa pokok masalahnya begitu penting sehingga kalau Nabi tidak menyampaikannya, berarti Nabi sama sekali tidak menyampaikan risalah Allah.
Syiah dan Sunni sepakat bahwa Surah al-Mâ`idah adalah Surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi saw, dan ayat ini merupakan satu dari ayat-ayat terakhir Surah ini. Dengan kata lain, turun ketika Nabi sudah menyampaikan semua hukum dan ajaran lain Islam selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah sebagai Nabi saw. Ayat ini termasuk petunjuk, perintah atau ajaran terakhir Islam. Kini kaum Syiah bertanya petunjuk, ajaran atau perintah seperti apa yang begitu penting sehingga kalau tidak disampaikan, maka seluruh yang dikerjakan Nabi di masa sebelumnya jadi batal. Anda tak mungkin dapat menunjukkan pokok masalah apa pun yang berkaitan dengan tahun-tahun terakhir hayat Nabi saw yang begitu penting. Namun kami katakan bahwa masalah imamah begitu penting sehingga kalau imamah hilang, maka tak ada lagi yang tersisa. Tanpa imamah, seluruh bangunan Islam akan hancur lebur. Kaum Syiah mengutip riwayat-riwayat dan hadis-hadis Sunni itu sendiri untuk memperkuat klaim mereka bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.
Dalam Surah al-Mâ`idah itu sendiri ada ayat lain yang bunyinya:
Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu, lengkapkan karunia-Ku kepadamu, dan Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3).
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari itu terjadi sesuatu, yang begitu penting sehingga agama jadi sempurna, karunia Allah kepada umat manusia jadi lengkap, dan tanpa itu Islam tak mungkin seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kaum Syiah berargumen bahwa nada ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang berkenaan dengan ayat ini begitu penting sehingga eksistensi Islam sebagai agama yang benar itu sendiri bergantung pada sesuatu itu. Sekarang pertanyaannya adalah seperti apa sesuatu itu. Kaum Syiah mengatakan dapat menunjukkan sesuatu itu. Sedangkan kaum lainnya tidak. Selain itu, ada riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan masalah imamah. Tiga ayat ini yang merupakan substansi argumen-argumen Syiah sudah kami kemukakan.
Membincangkan Wilayah al-Faqih (vilayat-e faqih) tidak bisa terlepas dari konsep Imamah dan wilayah. Imamah dan wilayah adalah konsep kepemimpinan yang diyakini oleh umat syiah. Mayoritas syiah terdapat di Iran (Persia). Iran lewat perjuangan Ayatullah Khomeini telah menjadikan konsep Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah revolusi 1979. Karenanya, sebelum membahas fokus kajian ini, penulis terlebih dahulu menguraikan konsep Imamah dan wilayah tersebut sebagai faktor perumusan wilayah al-faqih.
MAKNA IMAMAH.
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam[1] sendiri berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti “pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.[2]
Dalam al-Quran, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali, dan kata a‘immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaanya. Bisa bermakna jalan umum (Q.S. Yasin/36: 12); pedoman (Q.S. Hud/11: 7); ikut (Q.S. al-Furqan: 74); dan petunjuk (Q.S. al-Ahqaf/46: 12). Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (Q.S. al-Isra/17: 71); pemimpin orang-orang kafir (Q.S. at-Taubah/9: 12); pemimpin spiritual atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub (Q.S. al-Anbiya/21: 73); pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (Q.S. al-Qasas/28: 5 dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah Swt (Q.S. as-Sajadah/32: 24).[3]
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang berarti pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin dalam arti negatif yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin spiritual.
Kata imam yang berarti pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan bisa pula untuk pemimpin agama. Sedangkan dalam arti pemimpin yang bersifat khusus, yakni sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Karena, pada kenyataannya, upaya melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat dalam ajaran Islam, tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga kehidupan kolektif, sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.
Nabi Muhammad saaw. misalnya, pada awalnya lebih berfungsi sebagai nabi dan rasul dalam makna sempit, yakni pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, pada periode Madinah, kedudukan beliau mulai bersifat politis, sebab beliau juga melaksanakan tugas politik dan pemerintahan sebagai pemimpin atau kepala negara bagi masyarakat Madinah.[4]
Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus.[5] Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang para imam sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala urusan umat yang berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik, keamanan, ekonomi, budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya.
PENETAPAN IMAMAH SEBAGAI USHULUDDIN.
Salah satu perbedaan pokok yang mendasar antara sunni dan syiah adalah keyakinan tentang imamah, yaitu bahwa Allah swt melalui lisan Nabi-Nya telah mengangkat orang-orang yang memiliki kualitas tinggi untuk menjadi pemimpin umat setelah wafatnya Nabi Muhammad saaw.
Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab syiah imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-adl), kenabian (an-nubuwah), dan hari kebangkitan (al-ma’ad). Sehingga secara sederhana dapat dikatakan, seseorang dapat disebut sebagai penganut syiah jika ia mempercayai adanya imam yang dipilih Nabi saaw, yang secara formal berhak penuh melanjutkan kedudukan menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang dalam keyakinan syiah, orang yang dipilih nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, kerabat dan menantu beliau.
Sebagai dasar pikirnya, syiah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa’adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.[6]
Hal ini juga berdasar pada wahyu ilahi. Misalnya, di dalam al-Quran, Allah berfirman bahwa manusia diperintahkan untuk bergabung dengan orang-orang yang takwa dan benar, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah: 119).
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir sunni dan syiah terhadap makna ayat ini.[7]
KRITERIA IMAMAH: ISHMAH DAN ILMU.
Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[8] Dalam hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang shahih, syiah menegaskan bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang tertentu (bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul bait nabi yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S. al-Ahzab: 33) diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain.
Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.[9] Jadi, bagi syiah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, syiah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.[10]
Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah diperoleh salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya, seorang imam mengetahui hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang ditimbulkan karena melanggar ajaran-ajaran agama tersebut. Dengan ilmu yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi perbuatannya (ain al-yakin), seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa. Laiknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka ia tidak akan mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi minyak panas, walaupun hal itu belum pernah dicobanya.
Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam, juga mengajukan dalil naqli, al-Quran dan hadits. Diantaranya yang cukup jelas adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan diangkat dari keturunannya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ’sesungguhnya Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: “Janjiku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124).
Ayat ini membicarakan tentang kisah Nabi Ibrahim as. yang setelah melewati fase kenabian dan kerasulan, dan setelah lulus dalam sejumlah ujian berat, maka Nabi Ibrahim as. diangkat menjadi Imam seluruh manusia. Dengan kesungguhannya, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.
Frase terakhir dari ayat di atas menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak akan mengenai orang-orang yang zalim. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara terperinci kelompok manusia dibagi pada empat posisi, yaitu :
1. Manusia yang zalim sepanjang umurnya.
2. Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.
3. Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.
4. Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.[11]
Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok manusia yang kedualah yang berhak mendapat dan diangkat menjadi imam, karena tidak pernah berbuat zalim alias maksum, seperti ditegaskan oleh ayat di atas. Sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas dirinaya, sesuai dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).
Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi pemimpin melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. al-Nisa’: 59).
Ayat tersebut menurut Husein al-Habsyi menunjukkan bahwa ulil amri yang wajib ditaati adalah pemimpin yang senantiasa cocok dengan hukum Allah Swt. Ketaatan mutlak tidak akan pernah dilaksanakan kecuali jika pemimpin tersebut adalah orang yang maksum. Sebab, jika mereka berbuat kesalahan, maka harus ditegur dan ditolak saat itu juga. Sikap semacam ini bertentangan dengan keharusan taat kepada mereka. Akhirnya dua perintah Allah akan menjadi saling berbenturan, padahal keduanya menuntut adanya pelaksanaan untuk menghindari murka Yang Maha Kuasa, dalam arti kata taat kepada mereka.[12]
Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33).
Para ulama ahli hadis, tafsir, dan sejarawan menyatakan bahwa ayat di atas turun kepada lima orang, yaitu Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein. Hal ini dapat ditemukan dalam banyak literatur baik di kalangan sunni maupun syiah seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Mustadrak al-Hakim, Sunan al-Turmizi, tafsir Al-Tabari, Tarikh Baghdadi dan lain-lain.[13] Bahkan beberapa buku ditulis khusus untuk menguraikan tentang ayat tersebut, diantaranya[14]:
1. Sayid Syahid al-Qadhi Nurullah al-Tusturi, Al-Sahab al-Mathir fi Tafsiri Ayat Tathir.
2. Allamah Baha’uddin Muhammad bin Hasan al-Isfahani yang dikenal dengan gelar al-Fadhil al-Hindi, Tathir at-Tathir.
3. Allamah Sayid Abdul Baqi al-Husaini, Syarhu Tathir at-Tahir.
4. Syekh Abdul Karim bin Muhammad bin Thahir al-Qummi, Al-Shuwar al-Munthabaah.
5. Syekh Ismail bin Zainal Abidin yang bergelar Misbah, Tafsir Ayat at-Tathir.
6. Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Taqi al-Bahrain, Jala’ul Dhamir fi Halli Musykilat Ayat Takhir.
7. Allamah Syekh Abdul Husain bin Mustafa, Aghlab ad-Dawain fi Tafsiri Ayat Tathir.
8. Syekh Luthfullah Ash-Shafi, Risalah Qayyimah fi Tafsiri Ayat Tathir.
9. Sayid Ja’far Murtadha al-Amili, Ahlulbait fi Ayat at-Tathir.
10. Syekh Muhammad Mahdi ash-Shifi, Kitab fi Maqal Ayat Tathir.
11. Sayid Ali al-Muwahhid al-Abthahi, Ayat Tathir fi Ahadits al-Fariqain.
12. Syekh Ja’far Subhani, Ayat at-Tathir.
13. Sayid Kamal haydari, al-Ishmah.
Dengan demikian, nas-nas al-Quran di atas secara jelas mengungkapkan bahwa, kepemimpinan ilahiah dalam Islam tidaklah berakhir setelah Rasulullah saw wafat. Akan tetapi, garis imamah dilanjutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan orang-orang suci dari keturunannya melalui jalur Imam Ali dan Fatimah al-Zahra as.
Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, kemaksuman yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa dan kesalahan, serta memiliki ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman. Setidaknya ada tiga syarat penting yang mesti dimiliki seseorang untuk menduduki posisi Imamah yaitu :
1. Merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah swt, bukan diangkat oleh masyarakat umum
2. Memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secara ladunni dari sisi Allah swt.
3. Maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan serta dosa.[15]
Ketiga syarat tersebut mengindikasikan bahwa orang yang menjadi imam mestilah diangkat oleh Allah, seperti halnya para Nabi, bukan diangkat oleh manusia. Namun, orang yang diangkat Allah swt haruslah orang yang memiliki kualitas kenabian secara lahiriah dan ruhaniah seperti yang disyaratkannya memiliki ilmu dan kemaksuman. Orang-orang yang memiliki kualitas seperti ini hanya Allah swt yang mengetahuinya, karena hanya Dialah yang senantiasa mengawasi manusia dengan kecermatan, ketelitian, dan pengawasan yang tidak mungkin dihinggapi kekeliruan.
Selain itu, Imamah juga merupakan petunjuk pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan Ilahi yang mesti dijalankan manusia. Tuhan dianggap adil karena Ia ingin manusia berjalan di garis yang benar; Tuhan pencipta manusia dan tidak akan membiarkan makhluk-Nya dalam kesesatan. Untuk misi itulah para rasul diutus oleh Tuhan.
PENGANGKATAN DAN PENUNJUKKAN IMAM.
Seperti disebutkan di atas bahwa pengangkatan atau penunjukan imam merupakan hak preogratif Allah swt, yang disampaikan melalui wahyu dan lisan Rasulullah saaw. Manusia tidaklah memiliki peran dalam pemilihan tersebut, disebabkan penentuan seorang imam menunut kelayakan zatiah, yakni kelayakan yang mana pada diri seseorang telah tertanam sifat-sifat dan kriteria imam seperti ishmah dan ilmu secara sempurna dan telah menjadi jati dirinya.
Imamah dalam pandangan kaum syiah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Khwajah Nasiruddin at-Thusi sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah. Maksudnya seperti kenabian dan berada di luar otoritas manusia. Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi Saw, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[16]
Pandangan ini diperkuat dengan penunjukan langsung Rasulullah Muhammad saaw untuk menjadikan Imam Ali sebagai pemimpin (maula, waliy) seluruh kaum muslimin sesaat setelah menyelesaikan haji wada’. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan “hadits ghadir khum” yang mencapai derajat mutawatir.
Jumhur ulama Islam baik dari sunni dan syiah telah mengakui bahwa Nabi Saw pada hari ke-18, pada bulan Zulhijjah tahun ke-10 H, sepulangnya dari haji wada’ menuju Madinah al-Munawarah, beliau berhenti di Ghadir, di sebuah dataran yang bernama Khum. Beliau memerintahkan orang yang mendahuluinya untuk kembali dan menanti orang-orang yang tertinggal di belakang. Sehingga semua orang yang bersama beliau berkumpul, jumlah mereka pada waktu itu diperkirakan mencapai 70.000 orang atau lebih, dan ada yang berpendapat 120.000 orang.[17]
Rasulullah naik ke atas mimbar, beliau berbicara dengan khutbah yang sangat istimewa. Pesan-pesan ilahiah mengenai persaudaraan, keimanan, keutamaan Islam, dan sebagainya disampaikan nabi saaw dengan fasihnya. Hingga kemudian beliau menyampaikan akan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib, mendoakannya dan mendoakan orang-orang yang mendukungnya, serta mereka yang menjadikannya sebagai wali.[18]
Kemudian, beliau memerintahkan para sahabatnya agar menyediakan tempat bagi Ali, kemudian mendudukkannya di tempat itu. Nabi kemudian memerintahkan semua yang bersama beliau untuk mendatanginya, baik perseorangan maupun berjamaah, untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya atas kepemimpinan Ali kelak terhadap seluruh kaum Muslim. Setelah itu para sahabat diperintahkan nabi membai’at Imam Ali. Rasulullah Saw berkata, “Tuhanku telah memerintahkan kepadaku tentang hal ini, dan menyuruh kamu sekalian untuk membai’at kepada Ali.” Riwayat ini menurut Ayatullah Sayyid Muhammad al-Musawi, terdapat dalam lebih 60 kitab karangan ulama-ulama terkenal Sunni, lebih dari 300 sumber dan lebih 100 periwayat dari sahabat Nabi. Sumber-sumber itu antara lain Sunan Abu Daud, Sahih Muslim, Sir al-‘Alamin karya Abu Hamid al-Gazali, Sunan Ibnu Majah, al-Mustadrak al-Hakim, Minhaj al-Sunnah Ibnu Taimiyah, Sunan an-Nasa’i dan lain-lain. [19]
Inilah deklarasi umum kepemimpinan Imam Ali, dengan memproklamirkan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga (man kuntu maula hu fa hadza Ali maula hu .[20]
Hadits ini mempunyai banyak jalur periwayatan baik dari jalur sunni maupun syiah, sehingga mustahil untuk diragukan. Ridha al-Hakimi dalam Hamaseh Ghadir menyatakan “Apabila (kriteria keshahihan) hadits al-Ghadir ini tidak kita terima kebenarannya, niscaya tidak ada satupun hadits lain yang dapat kita terima”.[21]
Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Husain Ali Mahfuz, dalam risetnya yang mendalam seputar persoalan Ghadir Khum, telah mencatat dengan dokumentasi bahwa hadits al-ghadir ini telah dirawikan oleh paling sedikit 110 sahabat, 84 thabiin, 355 ulama, 25 sejarawan, 27 ahli hadits, 11 mufasir, 18 teolog, dan 5 filolog.[22] Al-Amini dalam karya monumentalnya al-Ghadir sebanyak 11 jilid dengan panjang lebar menelusuri sumber-sumber rujukan hadits tersebut. Al-Amini menyebutkan para perawinya dari kalangan sahabat yang mencapai 110 orang sahabat sebagai berikut :
1. Abu Hurairah al-Dausi (w.57/58H). Diantaranya diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad jilid VIII, hlm. 290. Al-Khawarizmi di dalam Manaqib, hlm. 130. Ibn Hajar di dalam Tahzhib al-Tahzhib jilid VII, hlm. 327.
2. Abu Laila al-Ansari (w. 37 H). Diantaranya ditulis oleh al-Khawarizmi, Manaqib, hlm. 35. Al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan Samhudi di dalam kitab Jawahir al-Aqidain.
3. Abu Zainab bin ‘Auf al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307. dan jilid 5, hlm. 205; Ibn Hajr Asqalani, al-Isabah jilid 3, hlm. 408 dan jilid 4, hlm. 80.
4. Abu Fadhalah al-Ansari, sahabat Nabi saaw di dalam peperangan Badr. Di antara orang yang memberi penyaksian kepada ‘Ali AS dengan hadith al-Ghadir di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307, dan jilid 5, hlm.205.
5. Abu Qudamah al-Ansari. Di antara orang yang menyahut seruan ‘Ali AS di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 5, hlm. 276.
6. Abu ‘Umrah bin ‘Umru bin Muhsin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah Jilid 3, hlm. 307.
7. Abu al-Haitsam bin al-Taihan meninggal dunia saat perang al-Siffin tahun 37 H. Diriwayatkan oleh al-Qadhi dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
8. Abu Rafi’ al-Qibti, hamba Rasulullah SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi dalam Maqtal dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhb.
9. Abu Dhuwaib Khuwalid atau Khalid bin Khalid bin Muhrith al-Hazali wafat di dalam pemerintahan Khalifah ‘Uthman. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah, al-Khawarizmi di dalam Maqtal.
10. Abu Bakr bin Abi Qahafah al-Taimi (w.13H). Lihat Ibn Uqdah dalam Hadith al-Wilayah; Abu Bakr al-Ja’abi dalam al-Nakhb, al-Mansur al-Razi dalam kitabnya Hadith al-Ghadir, Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i dalam Asna al-Matalib, hlm. 3.
11. Usamah bin Zaid bin al-Harithah al-Kalbi (w.54H). Diriwayatkan di dalam Hadith al-Wilayah dan Nakhb al-Manaqib.
12. Ubayy bin Ka’ab al-Ansari al-Khazraji (w. 30/32H). Lihat Abu Bakr al-Ja’abi dalam Nakhb al-Manaqib.
13. As’ad bin Zararah al-Ansari. Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4.
14. Asma’ binti Umais al-Khath’amiyyah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah.
15. Umm Salamah isteri Nabi SAWAW. Lihat al-Samhudi al-Syafii dalam Jawahir al-Aqirain; dan al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi al-Mawaddah, hlm. 40.
16. Umm Hani’ binti Abi Talib. Lihat al-Qunduzi l-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 40 dan Ibn ‘Uqdah, Hadith al-Wilayah.
17. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari al-Khazraji hamba Rasulullah saaw (w. 93H). Lihat al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikhnya jilid VII, hlm. 377; Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, hlm. 291; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
18. Al-Barra’ bin ‘Azib al-Ansari al-Ausi (w. 72H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm. 281; Ibn Majah di dalam Sunan, I, hlm. 28-29.
19. Baridah bin al-Hasib Abu Sahl al-Aslami (w. 63H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 110; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
20. Abu Sa’id Thabit bin Wadi’ah al-Ansari al-Khazraji al-Madani. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
21. Jabir bin Samurah bin Janadah Abu Sulaiman al-Sawa’i (w. 70H). Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, VI, hlm. 398.
22. Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 73/74H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Birr di dalam al-Isti’ab, II, hlm. 473; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tadhib, V, hlm. 337.
23. Jabalah bin ‘Umru al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
24. Jubair bin Mut’am bin ‘Adi al-Qurasyi al-Naufali (w. 57/58/59 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 31, 336.
25. Jarir bin ‘Abdullah bin Jabir al-Bajali (w. 51/54 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 106.
26. Abu Dhar Janadah al-Ghaffari (w.31 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah; Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4.
27. Abu Junaidah Janda’ bin ‘Umru bin Mazin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 308.
28. Hubbah bin Juwain Abu Qadamah al-’Arani (w. 76-79H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 103; al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VIII, hlm. 276.
29. Hubsyi bin Janadah al-Jaluli. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307, V, hlm. 203; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa Nihayah, VI, hlm. 211.
30. Habib bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 304.
31. Huzaifah bin Usyad Abu Sarihah al-Ghaffari. (w.40/42 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38.
32. Huzaifah al-Yamani (w.36 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 40.
33. Hasan bin Tsabit. Salah seorang penyair al-Ghadir pada abad pertama Hijrah.
34. Imam Mujtaba Hasan bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
35. Imam Husain bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Auliya’, IX, hlm.9.
36. Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Ansari (w.50/51H). Diriwayatkan oleh Muhibuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, I, hlm. 169; Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabbah, V, hlm. 6 dan lain-lain.
37. Abu Sulaiman Khalid bin al-Walid al-Mughirah al-Makhzumi (w. 21/22H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
38. Khuzaimah bin Thabit al-Ansari Dhu al-Syahadataini (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah,III, hlm. 307 dan lain-lain.
39. 39. Abu Syuraih Khuwailid Ibn `Umru al-Khaza`i (w. 68 H).Di antara orang yang menyaksikan Amiru l-Mukminin dengan hadis al-Ghadir.
40. Rifaah bin `Abd al-Munzhir al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
41. Zubair bin al-`Awwam al-Qurasyi (w. 36 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 3.
42. Zaid bin Arqam al-Ansari al-Khazraji (w. 66/68 H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm.368 dan lain-lain.
43. Abu Sa`id Zaid bin Thabit (w. 45/48 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib,hlm. 4 dan lain-lain.
44. Zaid Yazid bin Syarahil al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, II, hlm. 233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 567 dan lain-lain.
45. Zaid bin `Abdullah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
46. Abu Ishak Sa`d bin Abi Waqqas (w. 54/56/58 H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak , III, hlm. 116 dan lain-lain.
47. Sa`d bin Janadah al-`Aufi bapa kepada `Atiyyah al-`Aufi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah , dan lain-lain.
48. Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji (w. 14/15 H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja`abi di dalam Nakhb.
49. Abu Sa`id Sa`d bin Malik al-Ansari al-Khudri (w.63/64/65H). Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 8; Ibn Kathir di dalam Tafsirnya, II, hlm. 14 dan lain-lain.
50. Sa`id bin Zaid al-Qurasyi `Adwi (w. 50/51 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Maghazili di dalam Manaqibnya.
51. Sa`id bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
52. Abu `Abdullah Salman al-Farisi (w. 36/37 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
53. Abu Muslim Salmah bin `Umru bin al-Akwa` al-Islami (w. 74H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya didalam Hadis al-Wilayah.
54. Abu Sulaiman Samurah bin Jundab al-Fazari (w.58/59/60 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
55. Sahal bin Hanif al-Ansari al-Awsi (w. 38 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
56. Abu `Abbas Sahal bin Sa`d al-Ansari al-Khazraji al-Sa`idi (w. 91H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
57. Abu Imamah al-Sadiq Ibn `Ajalan al-Bahili (w. 86 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
58. Dhamirah al-Asadi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
59. Talhah bin `Ubaidillah al-Tamimi wafat pada tahun 35 Hijrah di dalam Perang Jamal. Diriwayatkan oleh al-Mas`udi di dalam Muruj al-Dhahab, II, hlm. 11; al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 171 dan lain-lain.
60. Amir bin `Umair al-Namiri. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 255.
61. Amir bin Laila bin Dhumrah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 92 dan lain-lain.
62. Amir bin Laila al-Ghaffari. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 257 dan lain-lain.
63. 63. Abu Tufail `Amir bin Wathilah. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 118; al-Turmudhi di dalam Sahihnya, II, hlm. 298 dan lain-lain.
64. 64. `Aisyah binti Abu Bakr bin Abi Qahafah, isteri Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
65. Abbas bin `Abdu l-Muttalib bin Hasyim bapa saudara Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
66. Abdu al-Rahman bin `Abd Rabb al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 408 dan lain-lain.
67. Abu Muhammad bin `Abdu al-Rahman bin Auf al-Qurasyi al Zuhri (w. 31 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 dan lain-lain.
68. Abdu al-Rahman bin Ya`mur al-Daili. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
69. Abdullah bin Abi `Abd al-Asad al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
70. Abdullah bin Badil bin Warqa’ Sayyid Khuza`ah. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
71. Abdullah bin Basyir al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
72. Abdullah bin Thabit al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
73. Abdullah bin Ja`far bin Abi Talib al-Hasyim (w. 80 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
74. Abdullah bin Hantab al-Qurasyi al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Ihya’ al-Mayyit.
75. Abdullah bin Rabi`ah. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
76. Abdullah bin `Abbas (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Nasa`i di dalam al-Khasa`is, hlm. 7 dan lain-lain.
77. Abdullah bin Ubayy Aufa `Alqamah al-Aslami (w.86/87H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
78. Abu `Abd al-Rahman `Abdullah bin `Umar bin al-Khattab al- `Adawi (w. 72/73 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 106 dan lain-lain.
79. Abu `Abdu al-Rahman `Abdullah bin Mas`ud al-Hazali (w. 32/33H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, II, hlm. 298 dan lain-lain.
80. Abdullah bin Yamil. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 274; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 382 dan lain-lain.
81. Uthman bin `Affan (w. 35 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
82. Ubaid bin `Azib al-Ansari, saudara al-Bara’ bin `Azib. Di antara orang yang membuat penyaksian kepada `Ali a.s di Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
83. Abu Tarif `Adi bin Hatim (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
84. Atiyyah bin Basr al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
85. Uqbah bin `Amir al-Jauhani. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68.
86. Amiru l-Mukminin `Ali bin Abi Talib a.s. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 152; al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107; al-Suyuti di dalam Tarikh al- Khulafa’, hlm. 114; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tahdhib, VII, hlm. 337; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, V, hlm. 211 dan lain-lain.
87. Abu Yaqzan `Ammar bin Yasir (w. 37H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
88. Ammarah al-Khazraji al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107 dan lain-lain.
89. Umar bin Abi Salmah bin `Abd al-Asad al-Makhzumi (w. 83 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
90. Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Diriwayatkan oleh Muhibbuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 161; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, VII, hlm. 349 dan lain-lain.
91. Abu Najid `Umran bin Hasin al-Khuza`i (w. 52 H). Diriwayatkan oleh syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
92. Amru bin al-Humq al-Khuza`i al-Kufi (w. 50 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
93. Amru bin Syarhabil.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
94. Amru bin al-`Asi. Diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Siyasah, hlm. 93 dan lain-lain.
95. Amru bin Murrah al-Juhani Abu Talhah atau Abu Maryam. Diri-wayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-`Ummal, VI, hlm. 154 dan lain-lain.
96. Al-Siddiqah Fatimah binti Nabi (s.`a.w.).Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
97. Fatimah binti Hamzah bin `Abdu l-Muttalib. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
98. Qais bin Thabit bin Syamas al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 305 dan lain-lain.
99. Qais bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
100. Abu Muhammad Ka`ab bin `Ajrah al-Ansari al-Madani (w. 51 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
101. Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairath al-Laithi (w. 84 H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan lain-lain.
102. Al-Miqdad bin `Amru al-Kindi al-Zuhri (w. 33 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
103. Najiah bin`Amru al-Khuza`i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, V, hlm. 6; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, III, hlm. 542 dan lain-lain.
104. Abu Barzah Fadhlah bin `Utbah al-Aslami (w. 65 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
105. Na’mar bin `Ajalan al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68 dan lain-lain.
106. Hasyim al-Mirqal Ibn`Utbah bin Abi Waqqas al-Zuhri (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 366; Ibn Hajr di dalam _al-Isabah, I, hlm. 305.
107. Abu Wasmah Wahsyiy bin Harb al-Habsyi al-Hamsi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
108. Wahab bin Hamzah.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi pada Fasal Keempat di dalam Maqtalnya.
109. Abu Juhaifah Wahab bin`Abdullah al-Suwa’i (w. 74 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
110. Abu Murazim Ya’li bin Murrah bin Wahab al-Thaqafi. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah , II, hlm.233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah , III, hlm. 542[23].
Demikianlah 110 perawi-perawi hadis al-Ghadir di kalangan sahabat mengenai penunjukan Ali a.s sebagai imam atau khalifah secara langsung oleh Rasulullah saaw. Kemudian diikuti pula oleh 84 perawi-perawi dari golongan para Tabi`in yang meriwayatkan hadis al-Ghadir serta 360 perawi-perawi di kalangan para ulama Sunnah yang meriwayatkan hadis tersebut di dalam buku-buku mereka. Malah terdapat 26 pengarang dari kalangan para ulama Ahl al-Sunnah yang mengarang buku secara khusus tentang hadis al-Ghadir.[24]
Para perawi hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini, melainkan juga dinukil secara mutawatir pada setiap tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad kedua hingga abad keempat belas Hijrah mencapai 360 orang. Diantara ulama Sunni kontemporer yang menyebutkan peristiwa ini, diantaranya :
1. Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafii dalam kitabnya Futuhat al-Islamiyah
2. Syeikh Yusuf al-Nabhani al-Beiruti dalam kitabnya al-Syaraf al-Muayyad
3. Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir al-Manar
4. Abdul Hamid al-Alusi al-Baghdadi dalam kitabnya Natsr al-La’ali
5. Sayyid Mukmin Sablanji al-Misri dalam Nur al-Abshar
6. Syeikh Muhammad Habibullah Syanqithi dalam Kifayah al-Thalib
7. Dr. Ahmad Rifai dalam kitabnya Ta’liqat Mu’jam al-Udaba
8. Ahmad Zaki al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat al-Ghani
9. Ahmad Nashim al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat Diwan Mihyar Dailami
10. Muhammad Mahmud Rifai dalam kitabnya Syarhu al-Hasyimiyat
11. Nashir as-sunnah al-Hamdhrani dalam Tasynif al-Adzan
12. Dr. Umar al-Faruk dalam Hakim al-Muammarah.[25]
Adapun ulama Syiah diantaranya :
1. Syeikh Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Thabarsi menulis kitab al-Ihtijaj
2. Mir Hamid Husain al-Hindi dalam karyanya Abaqat al-Anwar sebanyak 20 jilid
3. Syeikh Abdul Husain al-Amini dalam karyanya al-Ghadir sebanyak 11 jilid
4. Ali Akbar Shadeqi, Payam Ghadir (Khutbah al-Rasul saw fi Ghadir Khum).
5. Syeikh Ayub al-Hairi, al-Ghadir
Hadits al-Ghadir di atas umumnya dipandang sebagai pelantikan Imam Ali as saja, sedangkan syiah meyakini ada 12 imam. Keyakinan akan 12 imam atau khalifah ini didukung teks-teks hadits yang cukup terkenal yang diriwayatkan para ahli hadits di dalam kitab-kitab utama mereka seperti : Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, serta kitab-kitab standar lainnya yang jika kita telusuri akan mencapai setidaknya 270 riwayat, diantaranya Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah, “Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-’Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tiga jalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.
Sebagai misal, di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Akan muncul sepeninggalku dua belas orang amir’, kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, ‘Apa yang telah dikatakannya?’ Ayah saya men-jawab, ‘Semuanya dari bangsa Quraisy.’” Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari ‘Amir bin Sa’ad yang berkata, “Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, ‘Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.’ Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, ‘Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy.”.
Ayatullah Ibrahim Amini meneliti hadits-hadits tentang 12 imam atau khalifah dan mengelompokkanya menjadi lima kelompok,[26] yaitu :
1. Hadits-hadits yang menggambarkan bahwa para khalifah dan umara setelah nabi berjumlah 12 orang. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim Jilid III, “Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy.”
2. Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para imam berjumlah dua belas orang dan terakhirnya bernama al-Qaim atau Mahdi.
3. Hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang dengan disertai nama-nama setiap imam.
4. Hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam ada 12 orang dan semuanya suci.
5. Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa ahlul bait akan tetap ada hingga hari kiamat.
Syiah meyakini bahwa tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas khalifah yang ditentukan Nabi Muhammad saaw. itu adalah para Imam maksum as. dari Imam Ali bin Abi Thalib as hingga Imam Muhammad al-Mahdi afs.
Meskipun begitu, umumnya ulama sunni tetap menganggap bahwa pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah bukanlah hal yang mutlak, bahkan sebagiannya ada yang menolak persoalan tersebut. Menurut analisa Jalaluddin Rakhmat, setidaknya, dalam menanggapi persoalan ini para pemikir sunni melakukan enam teknik pengalihan fakta[27], yaitu :
1. Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
2. Membuang seluruh beritanya dengan memberithaukan bahwa pembuangan cerita itu ada. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelakan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’ nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan supaya orang banyak tidak resah mendengarnya. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
3. Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”.
4. Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalakanya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
5. Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
6. Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung atau yang menunjukkan kehebatan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifah Nabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Cara ini telah melahirkan diskusi mazhab yang panjang. Ulama Sunni menulis buku yang menyerang mazhab syiah, dan Ulama syiah membalasnya dengan menulis buku juga sebagai jawaban. Al-Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah yang dibantah oleh Ibnu Rouzban (dari sunni) dan dibalas lagi oleh al-Marasyi al-Tustary (dari Syiah). Kompilasi bantahan ini sekarang menjadi buku ‘Ihqaq al-Haq’ sebanyak 19 jilid, yang setiap jilidnya sama dengan ukuran Encyclopedia Britannica. Ibnu Taymiyah menulis buku ‘Minhaj al-Sunnah’ juga untuk membantah buku ‘Minhaj al-Karamah’. Akhirnya ditulislah 11 jilid al-Ghadir dan 20 jilid “Abaqat al-Anwar” untuk membuktikan keshahihan hadits ghadir khum yang didhaifkan Ibnu Taymiyah. Sampai saat ini belum ada bantahan untuk kedua buku tersebut.
HUBUNGAN IMAMAH DAN WILAYAH.
Pada dasarnya, imamah dan wilayah adalah konsepsi yang tak terpisahkan, antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya, wilayah adalah payung besar yang menaungi seluruh konsepsi kepemimpinan Islam, baik itu kenabian (an-nubuwah), keimaman (imamah), ataupun keulamaan (fukaha). Ini berarti wilayah merupakan konsepsi yang khas sebagai bentuk distribusi kepemimpinan mulai dari Allah (wilayah Allah), Nabi (wilayah al-nabi), imam (wilayah al-imam), hingga ulama (wilayah al-faqih).
Ayat berikut dipandang oleh syiah sebagai rujukan penting mengenai wilayah: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan rukuk.” (Q.S. al-Maidah: 55).
Ayat ini menetapkan tiga “kewalian” yaitu Allah, Nabi Muhammad Saw, dan “orang yang beriman”. Frasa terakhir (orang yang beriman) ini, disebutkan oleh para ahli hadits dan tafsir merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib.[28] Jadi, ayat ini mengindikasikan kewalian Imam Ali bin Abi Thalib, dan para imam lainnya yang wilayah mereka ditetapkan melalui penunjukan mereka oleh Nabi Saw.[29]
Menurut A.A. Sachedina, Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir telah melaksanakan tugasnya mengemban wilayah al-ilahiyah. Wilayah al-Ilahiyah berkaitan dengan visi moral wahyu islami. Wahyu islami memandang kehidupan publik sebagai suatu proyeksi niscaya dari tanggapan pribadi terhadap tantangan moral untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang berdasarkan ajaran-ajaran Allah di muka bumi. Untuk mewujudkan itu, kepemimpinan amat penting. Sebab hanya melalui kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah, penciptaan masyarakat yang ideal dapat diwujudkan. Masalah kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah dalam memenuhi rencana Allah, di bawah naungan wilayah al-Ilahiyah, dengan demikian menempati posisi sentral dalam sistem keimanan atau pandangan Syiah, yang di dalamnya Nabi Muhammad Saw sebagai wakil aktif Allah yang transendental di muka bumi, digambarkan sebagai memiliki wilayah Ilahi. Untuk menjamin kontinuitas visi wahyu yang demikian, kontinuitas realisasi kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan.[30]
Fakta ini demikian penting, sehingga baik selama masa hidup Nabi Muhammad Saw, maupun segera setelah wafatnya, masalah kepemimpinan dalam Islam menjadi jalin-berjalin demikian erat dengan penciptaan suatu tatanan Islami. Wahyu Islami tak pelak lagi mengandung arti bimbingan Allah melalui perwakilan yang ditunjuk oleh Allah, yaitu Nabi Muhammad Saw, untuk mewujudkan tatanan masyarakat Islami. Dan setelah Rasulullah Muhammad saaw, amanah untuk menjaga dan mewujudkan tatanan islami itu dilanjutkan oleh para imam yang diangkat oleh Allah melalui lisan wahyu Rasulullah saaw.
IMAMAH DAN WILAYAH SEBAGAI KEPEMIMPINAN UNIVERSAL.
Kata maula[31] dan al-waliy dalam kamus-kamus Bahasa Arab memiliki beberapa arti, diantaranya : yang bertanggung jawab dalam suatu pekerjaan (al-mutawalli fi al-amr), penolong (nashir), teman (shahib), pecinta (muhib), sekutu (haliif), pewaris (warits).
Akan tetapi, kata al-wali atau maula, sebagaimana terdapat dalam konteks ayat wilayah (Q.S. al-maidah: 55) dan hadits Ghadir Khum di atas, disepakati oleh ulama syiah sebagai konsepsi kepemimpinan universal yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Sedangkan bagi ulama sunni, istilah ini ditafsirkan bermacam-macam, meskipun ada konsensus di antara mereka bahwa ayat dan hadits itu diwahyukan untuk memuji kesalehan dan ketakwaan Ali, namun kata al-wali ditafsirkan sebagai mengandung arti muwalat (persahabatan yang menolong) Ali dan tidak meniscayakan penerimaan akan wilayah (otoritas dalam bentuk kepemimpinan universal/imamah).
Sebagian dari penulis ahli sunnah menyatakan bahwa al-wali atau maula dalam ayat dan hadis “man kuntu maula” berarti teman atau kekasih atau dengan kata lain dalam hadis al-Ghadir, Rasul hanya ingin menegaskan pada kaum muslimin bahwa siapa yang mencintai beliau harus juga mencintai Imam Ali a.s dan tidak lebih dari itu.
Memang tidak ada yang memungkiri bahwa kata al-wali atau maula bisa berarti teman atau kekasih. Akan tetapi, menurut pandangan syiah, dalam konteks ayat wilayah dan hadits al-ghadir, tidaklah tepat memaknai kata tersebut dengan teman atau kekasih dikarenakan alasan sebagai berikut: [32]
1. Bahwasanya kecintaan terhadap Imam Ali a.s. dan kecintaan kaum muslimin dengan sesama mereka adalah masalah yang sudah tersebar luas dan diketahui oleh seluruh umat Islam, karena diawal-awal dakwah rasul, beliau selalu menyampaikan “innamal mukminuna ikhwah”, sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara “, oleh karena itu tidak perlu lagi rasul mengumpulkan puluhan bahkan ratusan ribu kaum muslimin dalam kondisi dibawah terik matahari hanya untuk menyampaikan bahwa mereka harus mencintai Imam Ali as.
2. Ayat tentang wilayah ini mengandung makna pengaturan dan ketaatan khusus pada tiga wali yakni Allah, Nabi dan ‘orang beriman’ (Imam Ali).
3. Sesungguhnya sabda Rasul saww, “Bukankah aku lebih berhak atas kalian dibanding dari kalian?”, yang diucapkan sebelum melantik Imam Ali as, menandakan yang dimaksud dengan maula dihadis al-Ghadir bukan hanya sekedar kecintaan, akan tetapi kepemimpinan Imam Ali as. Sebagaimana Rasul adalah pemimpin kaum muslimin dan beliau lebih berhak atas mereka dibanding diri mereka sendiri begitu pula halnya dengan Imam Ali as.
4. Doa Nabi Muhammad saaw, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tiggalkanlah mereka yang meninggalkannya”, mengindikasikan kepemimpinan Imam Ali, sebab secara alami dalam kepemimpinan ada yang mendukung dan ada yang memusuhinya.
5. Ucapan selamat dan baiat yang disampaikan para sahabat kepada Imam Ali as juga membuktikan akan adanya suatu yang istimewa yang dialami beliau as. Kalau saja yang dimaksud rasul dalam hadis al-Ghadir itu hanya sekedar kecintaan, maka adalah hal yang biasa dan bukan suatu yang istimewa sehingga ayat diturunkan dan para sahabat mengucapkan selamat.
Para ulama Syiah, memaknai maula dalam arti pokoknya yang lain, yaitu al-awla bittasharruf (pemimpin) dan al-ahaq (lebih berhak untuk mengemban otoritas), sebab al-awla dalam penggunaan umum sering diterapkan pada seseorang yang dapat mengemban otoritas atau yang mampu mengelola urusan-urusan. Selain itu, al-wali, sebagaimana terdapat dalam ayat Alquran di atas, tidak selalu berarti seseorang yang memiliki otoritas untuk mendukung atau menolong, sebab banyak sekali ayat-ayat Alquran yang lain yang mengandung makna perintah tolong-menolong antara Rasul dengan kaum Muslim.
Namun, al-wali yang diterapkan pada Nabi Muhammad Saaw, mengandung makna wilayah tasharruf, yang berarti pemilikan akan otoritas yang memberi wali hak untuk bertindak dengan cara apa pun yang dinilainya paling baik, menurut kearifannya, sebagai seorang wakil bebas dalam mengelola urusan-urusan umat. Wilayah al-tasharruf dapat diemban hanya oleh orang yang ditunjuk untuk ini oleh otoritas mutlak yaitu Allah, atau oleh orang yang secara eksplisit ditunjuk oleh Nabi Muhammad Saaw, dalam kedudukan otoritas melalui perwakilan. Konsekuensinya, Imam yang ditunjuk oleh nas sebagai wali memiliki wilayah al-tasharrruf dan diakui sebagai penguasa umat.[33]
Dari hal-hal di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud “maula” dalam hadis al-Ghadir adalah “Khilafah dan Imamah” bagi Imam Ali as. sebagai pemimpin universal. Kepemimpinan universal ini akan terus berlangsung melalui garis para imam, yang secara eksplisit ditunjuk oleh imam-imam sebelumnya. Dalam pengertian terakhir inilah wilayah imam atas umat terkonseptualisasikan. Karena itu, secara keagamaan, melecehkan para imam yang ditunjuk oleh Allah ini sama saja dengan pengingkaran.
Secara kronologis, kepemimpinan umat pasca Nabi Muhammad saaw, menurut perspektif syiah, dimulai oleh Imam Ali bin Abi Thalib, kemudian anak beliau yakni Imam Hasan al-Mujtaba, Imam Husain, dan dilanjutkan sembilan keturunan dari Imam Husain yaitu Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kazhim, Ali Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan Muhammad al-Mahdi. Hanya saja, Imam yang terakhir ini, meskipun telah lahir pada abad ke-3 Hijrah (tahun 255 H) namun mengalami kegaiban hingga waktu yang tidak diketahui. Dalam masa ketersembunyian Imam Mahdi ini, wilayah imam terdelegasikan kepada ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk secara formal memimpin, membimbing, dan menjelaskan syariat Islam kepada kaum muslimin. Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya Imam kedua belas, Imam Muhammad al-Mahdi afs.
Ketika al-Mahdi, Imam kedua belas datang kembali, maka otoritas-otoritas temporal dan spiritual akan terpadu pada dirinya seperti halnya Nabi Muhammad saw. Dia akan mempersatukan dua bidang pemerintahan islami yang ideal itu. Maka gagasan tentang Imamah yang ditunjuk di antara keturunan Ali, yang berkesinambungan di sepanjang sejarah dan dalam segala keadaan politis, diperkuat oleh harapan berkenaan dengan Imamah dari Imam terakhir yang sedang gaib. Hal ini mengukuhkan kembali harapan Imamiyah akan pemerintahan islami sejati oleh seorang Imam yang absah dari kalangan keturunan Husein.[34]
Kegaiban dalam pemikiran dan keyakinan syiah terbagi dalam dua tingkatan. Pertama, “kegaiban kecil” (minor occultation/ghaibah ash-shugra) selama 74 tahun (255-329 H), yaitu ketika Imam Mahdi “bersembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam”. Pada masa ini kesulitan dalam hal marja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa diatasi. Karena, posisi marja’ dijabat oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu Abu ‘Ammar Usman bi Sa’id, Abu Ja’far Muhammad bin Usman, Abu al-Qasim al-Husain bin Ruh dan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Samari.
Kedua, “kegaiban besar” (major occultation/ ghaibah al-kubra), yaitu pasca meninggalnya keempat wakil Imam di atas hingga datangnya kembali Imam Muhammad al-Mahdi pada akhir zaman. Dalam periode “kegaiban besar” inilah kepemimpinan didelegasikan kepada para faqih. Konsepsi inilah yang dikenal dengan istilah wilayah al-faqih.
Catatan Kaki:
[1] Gelar yang paralel dengan imam adalah amir dan khalifah. Pada awal pemerintahan Islam, masa Rasulullah Saw dan Khulafaar-Rasyidun, penguasa daerah disebut amil (pekerja pemerintah, gubernur) sinonim dengan amir. Kata amir berasal dari akar kata amr yang berarti “perintah”. Amir bermakna “yang memerintah”, kemudian makna ini berkembang sehingga berarti “pemimpin”. Selama pemerintahan Islam di Madinah, para komandan divisi militer disebut Amir, yaitu amir al-jaisy atau amir al-jund. Para gubernur yang mulanya adalah pemimpin militer yang menaklukkan daerah, juga disebut Amir. Tugas utama amir pada mulanya adalah penguasa daerah, yaitu pengelola administrasi politik, pengumpul pajak, dan pemimpin agama. kemudian pada masa pasca Rasulullah Saw, tugas amir bertambah meliputi memimpin ekpedisi militer, menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan taklukan Islam, membangun mesjid, menjadi Imam salat Jumat, mengurus administrasi pengadilan, dan bertanggung jawab kepada khalifah di Madinah. Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, makna amir hampir sama dengan masa Rasulullah Saw. Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 204-206.
[2] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 204-206.
[3] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[4] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[5] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[6] Pembahasan mengenai imamah dengan dalil-dalil rasional banyak di bahas dalam kitab-kitab kalam syiah. Begitu pula dengan dalil-dalil naqliyah yang bersumber dari al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad saaw dan dikomparasikan dengan berbagai argumen mazhab sunni. Lihat misalnya, al-Kulaini, Ushul al-Kafi.(Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 2005). Abdul Husain Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994). Syaikh Abdullah Hasan, Munazarah fil Imamah.
[7] Tentang ayat ini, Fakhr al-Razi, berkomentar; “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, yang dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti orang yang dijamin kebenarannva atau maksum. Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun. Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk sepanjang masa. Jadi, pada setiap masa pasti ada orang maksum. Lihat Fakr al-Razi. Tafsir al-Kabir jilid XVI, h. 221.
[8] Tentang ‘Ismah, dapat di baca secara lengkap dalam Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah al-Imamiyah fi ‘Aqaidihim. (Mu’awiniyatu Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413), h. 56-70. Ja’far Subhani. Ishmah Keterpeliharaan Nabi dari Dosa. (Yayasan As-Sajjad, 1991). Sayid Kamal Haydari. Ishmah. (Huquq al-Thab’i Mahfuzhah, 1997); Muhammad at-Tijani as-Samawii. Bersama Orang-orang Yang Benar. (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1997), h. 213-220.
[9] Ibrahim Amini. Para Pemimpin Teladan. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 31. dan 40-64.
[10] Munawir Sjadzali. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press, 1993), h. 216.
[11] Allamah Thabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-Quran jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 1991), h. 270.
[12] Lihat Husain Al-Habsyi. Sunnah-Syiah dalam Ukhwah Islamiyah.(Malang: Yayasan Al-Kautsar, 1991), h. 186. Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 61.
[13] Lihat pembahasan khusus tentang ayat ini dalam Ali Umar al-Habsyi. Keluarga Suci Nabi Saw: Tafsir Surah al-Ahzab Ayat 33. (Jakarta: Ilya, 2004). Husain Al-Habsyi. Sunnah, h. 187, dan Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 58.
[14] Lihat Ali Umar al-Habsyi. Keluarga, h. 10-11.
[15] Lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 290.
[16] Murtadha Muthahhari. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2002), h. 471.
[17] Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab Syiah. (Bandung: Muthahari Press, 2005), h. 460.
[18] Teks khutbah ini dikumpulkan dengan baik dari berbagai sumber oleh Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir Nabi saw: Terjemahan Lengkap Kotbah Nabi saw di Ghadir Khum 18 Dzulhijjah 10 H. (Bandung: Pustaka Pelita, 1998).
[19] Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab, h. 460.
[20] Ali Akbar Shadeqi. Pesan terakhir, h. 58. lihat juga Al-Mustdrak li al-Hakim juz 3, h. 109. Musnad Ahmad juz 4, h. 437-438. Sunan al-Tirmizi juz 5, h.297. Husain Al-Habsyi. Sunnah, h. 37. Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab, h. 460-461. Muhammad Baqir al-Majlisi. Bihar al-Anwar Juz al-Hadi wa al-’Isyrun, (Beirut: Muassasatu al-Wafa’, 1983), h. 387.
[21] Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir, h. 18.
[22] Sayid Husain Muhammad Jafri. Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 51.
[23] Abdul Husain Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994), h. 14-158.
[24] Al-Amini. Al-Ghadir, h. 14-158.
[25] Lihat al-Amini. al-Ghadir, h. 147-151.
[26] Lihat Ibrahim Amini. Para, h. 319-321.
[27] Jalaluddin Rakhmat. Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih: Dari Fiqih al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Mazhab Liberalisme, dalam Budhy Munawar Rachman. ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 264-266.
[28] Lihat diantaranya : Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’labi. Tafsir al-Kasyfwa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur’an. al-Hakim al-Hiskani. Syawahid at-Tanzil jilid 1 (Beirut), h. 171-177. Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir ad-Durr al-Mantsur. al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-’Ummal jilid 1, h. 305 dan jilid 15, h. 146. (bab keutamaan Ali); ath-Thabrani. Mu’jamah al-Awsath. Al-Hakim an-Naisaburi. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits. (Mesir, 1937), h. 102. al-Khawarizmi. Kitab al-Manaqib, h. 187. Ibnu ‘Asakir. Tarikh Dimasyq jilid 2, h. 409. Ibnu Hajar al-’Asqalani. al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf. Mesir, h. 56. Muhibuddin ath-Thabari. Dzakha’ir al-’Ugba, h. 201. dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2, h. 227. Ahmad bin Yahya al-Baladzari. Ansab al-Asyraf jilid 2 diperiksa oleh Mahmudi (Beirut), h. 150. Al-Wahidi. Asbab an-Nuzul, diperiksa oleh Sayid Ahmad al-Shamad (1389 ), h. 192.
[29] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan Islam Perspektif Syiah. (Bandung: Mizan, 1994), h. 165.
[30] Lihat Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 164.
[31] Al-Amini menyebutkan padanan kata maula hingga mencapai 27 makna yaitu : al-Rab (Tuhan), al-am (paman), ibn al-am (anak paman), al-ibn (anak laki-laki), ibn al-ukht (putra saudari perempuan), al-mu’tiq (pembebas), al-mu’taq (yang dibebaskan), al-abd (hamba), al-malik (penguasa), al-tabi’ (pengikut), al-mun’am alaih (yang diberi nikmat), as-syarik (sekutu), al-halif (sekutu), ash-shahib (teman), al-jar (tetangga), al-nazil (tamu yang berkunjung), al-Shihru (keluarga suami), al-Qarib (teman dekat), al-mun’im (pemberi nikmat), al-faqid (mitra), al-waliy (pelindung), al-aula bi al-syai (yang lebih utama), al-Sayid ghairu al-malik wa al-mu’tiq (tuan), al-muhib (yang mencintai), al-nashir (penolong), al-mutasharrif fi al-amr (yang terlibat dalam urusan), al-mutawalli fi al-amr (yang bertanggung jawab atas urusan). Lihat al-Amini, al-Ghadir, h. 362-363.
[32] Bandingkan dengan Ibrahim Amini. Para, h. 96-97. Tim Penerbit al-Huda (peny). Antologi Islam. (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 301-310.
[33] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 166.
[34] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 167.
(Prajurit Al-Mahdi/Syiah-Ali/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar