Oleh: Muchtar Luthfi
Barangsiapa yang menyangka bahwa kitab Allah (al-Quran) memiliki kesamaranm niscaya ia tergolong orang yang celaka dan mencelakakan. (imam al-Baqir as, Lihat; kitab al-Mahasin)
Dalam logika aristetolian, manusia sering diartikan sebagai hewan yang berpikir dan berbicara. Melalui percakapan yang didahului oleh proses berpikir itulah, manusia dapat berkomunikasi, melakukan proses belajar mengajar, dan berinteraksi dengan sekitarnya, terutama dengan sesamanya. Di sisi lain, ketika kita menilik ulang sejarah perkembangan bahasa yang ada, ternyata perjalanan bahasa memiliki sejarah yang begitu panjang.
Mulai bahasa yang amat sederhana, hingga perubahan jenis bahasa yang mencakup; sinonim, anonim, kiasan… dsb.
Sekaitan dengan itu, August Boeck (1785-1867) adalah pribadi pertama yang mengadakan analisa bahasa secara filosofis. Tiada seorangpun yang menyangka bahwa problematika bahasa akan menjadi suatu pembahasan yang penting pada abad dua puluh Masehi. Dalam pembahasan filsafat agama problema ini biasa dikaji dalam pembahasan “The Language of Religion”. Pembahasan ini memiliki tiga tempat yang sangat berpengaruh dalam pemahaman agama;
Pertama, bahasa yang dipakai oleh suatu agama untuk menyampaikan semua ajarannya kepada masyarakat, yaitu bahasa yang tercantum dalam kitab-kitab suci.
Kedua, bahasa yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman spiritual (religious experience) atau keyakinan seseorang. Ketiga, bahasa yang dilafalkan oleh para hamba untuk beribadah dan bermunajat kepada Sang Pencipta.[2]
Dalam pokok bahasan filsafat agama telah ditetapkan, bahwa manusia tidak akan mungkin dapat mencapai kehidupan secara rasional yang dapat menjamin keselamatan dan kebahagian sejati kecuali dengan beragama. Hanya melalui jalur agama manusia akan mendapat kehidupan rasional tersebut. Di sisi lain, berbagai argument telah menetapkan, hanya agama yang bersumber dari Pencipta alam semesta saja yang dapat menjamin keselamatan dan kebahagiaan abadi. Karena, hanya Dia yang dapat mengetahui dengan pasti jalan, sarana dan hakekat yang berkaitan dengan keselamatan itu, Dia adalah penguasa alam semesta.
Untuk itu, Allah swt –dengan berdasar pada sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki- harus memberikan petunjuk-Nya kepada umat manusia agar manusia dapat menggapai kehidupan mulia itu. Maka, Allah swt menurunkan kitab suci guna mengajarkan segala ihwal yang terkait dengan usaha menuju kebahagiaan kekal nan abadi itu. Kitab suci itu harus memuat semua yang dibutuhkan oleh manusia, dan tentu dengan bahasa yang dipahami oleh segenap umat manusia pula. Sekali lagi, peran bahasa dalam pengajaran hal-hal yang bersifat ketuhanan sangat berarti sekali. Lantas, dengan bahasa apakah Allah swt mengajarkan semua ajaran-Nya kepada umat manusia melalui penurunan kitab suci sehingga dapat dipahami oleh segenap umat manusia?
Tulisan ringkas ini berusaha untuk menyingkap secara global pertanyaan tadi.
Dalam kajian filsafat agama terdapat topik bahasan khusus berkaitan dengan bahasa religi. Pokok telaah bahasa al-Quran merupakan bagian dari topik tadi. Hal itu dikarenakan al-Quran merupakan literatur utama ajaran agama Islam. Tanpa memahami bahasa al-Quran berarti akan kehilangan literatur utama Islam, yang otomatis akan kehilangan pegangan untuk menuju kehidupan rasional yang diidamkan.
Dikarenakan Islam diturunkan bagi segenap manusia, oleh sebab itu bahasa al-Quran sebagai literatur utama agama harus bisa dipahami oleh segenap manusia. Al-Quran dalam menjelaskan bahasa religi yang dibawa oleh para nabi-nabi pembawa ajaran Ilahi menyatakan: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Ibrahim:4)
Tujuan penggunaan bahasa yang dipahami oleh kaum tadi adalah agar semua dapat memahaminya. Disamping para nabi menjelaskan ajaran ilahi, para nabi berargumen pula untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi kepada umatnya, serta menjawab segenap pertanyaan yang dilontarkan oleh kaumnya. Tentu saja, perkara semacam itu harus dilakukan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh segenap umat, sehingga umat dapat memahami apapun yang disampaikan oleh para nabi kepada mereka. Dalam sebuah ayat, Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti (bayyinat) yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (Q S al-Hadid:25)
Yang dimaksud dengan al-Bayyinat dalam ayat tadi adalah hakekat yang jelas dan mudah dipahami. Ada dua contoh konkrit al-Bayyinat. Jika yang dimaksud dengan kata tadi adalah mukjizat, maka mukjizat tersebut harus benar-benar jelas dan memberi kesan secara langsung.
Namun, jika yang dimaksud dengan kata tersebut adalah kitab suci, maka ia pun harus menggunakan bahasa dan argument yang jelas dan dapat dipahami oleh semua orang. Meski begitu, ungkapan ini tidak bertentangan dengan perlunya sebuah kitab suci kepada penafsir.
Pribadi pertama yang punya otoritas untuk menafsirkan kitab suci adalah pembawanya itu sendiri (nabi/rasul), kemudian disusul pribadi-pribadi yang kompeten -baik secara keilmuan maupun tingkat ketakwaan- atas perihal tersebut. Di sisi lain, kendati kitab suci perlu penafsiran, namun kandungannya tetap dengan mudah dapat dipahami. Karena—dalam al-Quran—ayat yang kurang jelas (mutasyabihat) akan dapat diperjelas dengan ayat yang benar-benar jelas (muhkamat) . Penjelasan lebih lanjut akan diurai pada pembahasan akan datang.
Bahasa al-Quran –yang masuk kategori bahasan bahasa religi dalam filsafat agama— merupakan bahasa di atas bahasa yang selayaknya dipakai masyarakat umum. Bahasa masyarakat umum hanya bertumpu pada penggunaan kata belaka. Namun, dikarenakan al-Quran mencakup semua ajaran Ilahi, maka bahasa al-Quran pun bukan hanya bertumpu pada hal tersebut. Atas dasar inilah, terjadi selang pendapat antara para ilmuwan dan ulama tradisional dalam menjajaki bahasa kitab suci, terkhusus al-Quran.
Para ilmuwan Barat sendiri dalam kasus ini memiliki beragam pendapat. Beberapa ilmuan madzhab filsafat empiris, khususnya para pengikut logika positivisme yang menjadikan tolok ukur inderawi (eksperimental) sebagai neraca kebenaran berpendapat bahwa, dikarenakan ajaran agama memuat banyak hal yang tidak dapat dieksperimenkan, maka mereka menyatakan bahwa bahasa agama adalah bahasa yang sama sekali tidak dapat dipahami, ambigu dan pada akhirnya bahasa yang tidak bermakna dan tidak lagi memerlukan penafsiran.[3] Lain halnya dengan Thomas Aquinas, seorang teolog Kristen terkemuka menyatakan bahwa bahasa agama dan kitab suci bersifat analogis, tidak menunjukkan arti yang sebenarnya.[4] Setelah itu datang para penafsir pandangan Aquinas seraya membagi bahasa analogi Aquinas menjadi dua bagian; analogi dalam pensifatan dan analogi dalam penisbatan. Mereka mengartikan analogi pensifatan dengan suatu sifat tertentu yang jika disifatkan pada satu obyek maka ia menjadi sifat hakiki (denotative), sedang untuk obyek yang lain menjadi sifat majazi (metafora). Sedang analogi penisbatan adalah, perbandingan antara sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan dengan sifat-sifat yang ada pada manusia, kemudian diambil satu titik temu diantara keduanya.[5]
Semenatara itu, sebagian yang lain dari ilmuwan Barat –semisal Paul Tillich- meyakini bahwa bahasa agama bersifat simbolik, memiliki makna lain dibalik makna sesungguhnya. Dengan dalih keabsolutan Tuhan yang mengakibatkan keterbatasan bahasa dalam mengungkap keilmuan Tuhan yang terjelma dalam ayat-ayat suci, maka makna lainlah dibalik makna asli yang dimaksud. Paul Tillich meyakini bahwa hanya satu ayat yang menunjukkkan makna aslinya, yaitu ayat yang menjelaskan tentang eksistensi Tuhan. Dari sinilah akhirnya kita tidak dapat menghukumi benar atau salahnya suatu ayat dalam kitab suci, mengingat kitab suci tidak menunjukkan pada makna aslinya, melainkan hanya makna simbolik belaka.[6] Sebagian dari ilmuwan Barat juga meyakini bahwa kitab suci memuat metode penyampaian dengan bahasa mitos. Mereka beranggapan bahwa tiada fenomena yang berkaitan dengan alam dan manusia yang tidak dapat ditafsirkan melainkan dengan cara pengungkapan mitos yang dihasilkan dari daya hayal kaum terbelakang (primitif).[7]
Selain dari mereka, ada pula ilmuwan Barat yang meyakini, bahwa ajaran tekstual agama bukan hendak mengungkapkan hakekat sesuatu sehingga bisa dihukumi benar atau salah, melainkan untuk menyeru kepada pengikutnya agar melaksanakan etika dan norma-norma yang diperlukan dalam kehidupan. R.B Braithwaitte adalah salah satu pendukung pendapat tersebut.[8]
Perlu dicatat, walaupun apa yang mereka ungkapkan di atas tadi dinyatakan berkaitan dengan semua kitab suci–secara umum—namun, penelitian mereka lebih dititikberatkan kepada kitab perjanjian baru dan lama dalam Bible. Para penulis kitab Injil (dua belas rasul/hawariyun) adalah pribadi-pribadi yang mencatat semua apa yang mereka lihat dari Isa al-Masih as, berdasar redaksi masing-masing. Maka sebagian beranggapan, jika dalam kitab Injil terdapat hal yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, maka hal itu dikarenakan penulisan yang dilakukan oleh murid-murid al-Masih tersebut menggunakan bahasa dan budaya yang berkembang saat itu. Ludwig Wittgenstein dalam menjawab problem pertentangan kitab suci dengan ilmu pengetahuan yang ada menyatakan, bahwa bahasa agama hanya dapat dipahami oleh para pemuka agama. Ia menambahkan, untuk mengenal bahasa agama seseorang harus masuk ke dalam permainan bahasa (language game), yang otomatis harus terlebih dahulu mengenal kaidah-kaidah dan tatacara permainannya. Jadi menurut mereka, bahasa agama memiliki ruang tersendiri yang tidak dimiliki oleh akal atau sumber pengetahuan yang lain.[9] Namun demikian bahasa agama lebih bersifat subyektif, dengan artian ia memiliki “kamar sendiri” dan bergantung pada versi siapa yang memiliki ruang tersebut? Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa, menurut para cendekiawan Kristen, bahasa religi hanya berkaitan dengan agama Kristen dan cara pandang mereka terhadap agamanya. Juga sebagai solusi untuk menjawab problem-problem yang menghadang keyakinan mereka. Tapi bagi kita, muncul sebuah tanda tanya besar, Adakah bahasa agama Islam juga mengalami hal yang sama? Apakah proses penulisan al-Quran sama persis dengan proses penulisan Injil? Apakah dalam Islam juga diperkenankan adanya “language game” dalam memahami bahasa agama? Adakah dalam Islam setiap orang –walaupun ia bergelar seorang ulama/rohaniawan- lantas dapat dengan seenaknya mentafsirkan literatur utama Islam (al-Quran), hanya dengan berbekal kaidah-kaidah permainan yang diperlukan dalam “language game”? Berdasar argumen-argumen tekstual agama yang ada, dengan singkat bisa dijawab, Islam melarang cara penafsiran bil-ra’yi (menurut pendapat pribadi). Dan proses penulisan al-Quran pun berbeda dengan Injil. Disini, perlu ada kajian khusus berkaitan dengan hakekat wahyu dan proses penurunan al-Quran.
Berbeda halnya dengan para ilmuwan dan ulama Islam dalam meneliti bahasa al-Quran. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa dengan dalih agama bertujuan untuk mengajarkan semua ajarannya ke segenap manusia, maka bahasa yang diterapkan harus menggunakan bahasa bisa yang dipahami oleh semua umat manusia. Oleh karenanya, al-Quran harus memakai bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat secara umum.[10] Sebagian dari para ulama –terkhusus dari para urafa dan ahli tasawuf (mistikus Muslim)—menyatakan bahwa al-Quran menggunakan bahasa isyarat yang memerlukan pentakwilan. Mereka meyakini, memahami dzahir ayat al-Quran saja tidak akan dapat menyingkap tujuan asli penurunannya. Oleh karenanya perlu penafsiran dan pentakwilan secara batin sehingga dapat diketahui maksud utama ayat-ayat tersebut.[11]
Sebagian lagi dari mereka (ulama) berpendapat bahwa al-Quran menggunakan bahasa dan metode khusus dalam penyampaian ajarannya, diluar bahasa dan metode percakapan manusia awam. Hal itu mengingat bahwa ajaran-ajaran al-Quran mencakup hal-hal bersifat transendental yang harus dicerap oleh manusia.[12]
Sebagian lagi berpendapat bahwa al-Quran menggunakan berbagai macam metode penyampaian dan bahasa, sebagian ayat menggunakan metode dan bahasa sebagaimana adanya, namun terkadang dalam ayat lain menggunakan metode dan bahasa kiasan, isyarat, sindiran…dsb, tentu saja kesemuanya itu harus dapat dipahami oleh manusia.[13]
Sementara beberapa ulama yang lain meyakini bahwa, dikarenakan al-Quran memiliki pemahaman bersifat vertikal maka semua lapisan masyarakat—mulai dari kaum awam hingga para cendikiawan—dapat menyerap setiap ayat dalam al-Quran sesuai dengan spesialisasi dan kecenderungannya masing-masing.[14] Masyarakat biasa, pakar faqih, teolog, filsuf dan seorang arif sekalipun, semua dapat mengambil manfaat dari cahaya ayat-ayat al-Quran. Tentu dengan kadar dan kemampuan daya serap masing-masing.
Di Barat, logika pemahaman positivisme yang dipelopori oleh Auguste Counte mendapat kritikan tajam dari para pemikir Barat sendiri. Ludwig Wittgenstein dan Karl Popper adalah tokoh pemikir Barat yang gencar mengkritik pendapat positivisme tersebut. Allamah Thabathabai –seorang filosof, faqih, arif dan mufassir terkemuka asal Iran—dalam menyanggah pendapat logika positivisme tentang bahasa kitab suci yang tidak mampu dipahami oleh manusia menyatakan, selain hal itu bertentangan dengan asas keyakinan semua agama samawi, juga bertentangan dengan akal sehat manusia. Jika benar bahwa kitab suci –terutama al-Quran—secara dzahir tidak dapat dipahami oleh umat manusia, maka kitab tersebut tidak dapat menjadi argumen (hujjah) bagi pengikutnya.
Pembenaran atas pendapat positivisme tentang bahasa kitab suci berkonsekuensi pada pelumpuhan argumen akal manusia, dan ini merupakan suatu hal yang mustahil.[15]
Kekhasan Bahasa Al-Quran Selain dari itu, Allamah dalam menjelaskan bahasa al-Quran –yang dapat dipahami oleh masyarakat umum—mengatakan, al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa masyarakat intelek secara umum (al-‘Urf al-Uqala’), bukan sekedar bahasa masyarakat biasa secara umum (al-‘Urf al-‘Adi).[16] Hal itu dengan alasan;
– Pertama, ajaran al-Quran mencakup hal-hal supra natural yang tidak dapat terwakili dengan penggunaan bahasa dan susunan lafadz dalam penjelasannya.
– Kedua, sebagaimana alam semesta memiliki gradasi wujud, al-Quran pun mengikuti gradasi yang ada. Sebelum al-Quran turun ke alam materi yang penuh dengan susunan (murakkab), ia telah ada di alam non-materi yang tiada tersusun ( abstrak/mujarrad). Hakekat al-Quran pada peringkat alam non-materi itu hanya dapat dipahami oleh Rasulullah saww. Namun Jibril as bertugas menurunkan apa yang ada di alam non-materi ke alam materi agar dapat diajarkan oleh Rasul ke segenap umat manusia.
Akan tetapi, dikarenakan keterbatasan potensi obyek wahyu (yaitu umat manusia), maka pengungkapan hakekat alam non-materi ke dalam bentuk penulisan tidak bisa dituangkan sebagaimana adanya (semestinya), melainkan dengan segala keterbatasan. Oleh karena itu, bahasa al-Quran yang ada merupakan bentuk formal dari analogi (tamtsil atau matsal)[17] penyampaian hakekat alam non-materi yang bersifat ghaib tadi.[18]
– Ketiga, al-Quran mengandung ayat-ayat yang bersifat samar (mutasyabihat), yaitu yang memiliki beberapa kemungkinan arti. Hanya dengan merujuk kepada ayat-ayat yang jelas (muhkamat) ayat yang samar tadi akan menjadi jelas arti pemaknaannya.[19]
– Keempat, hanya sekedar mengusai dasar-dasar umum kaidah bahasa arab tidak cukup untuk dapat mengungkap penafsiran al-Quran. Ada hal-hal lain yang diperlukan untuk memahami bahasa penyampaian al-Quran secara detail, diantaranya, mengetahui relasi antara ayat-ayat al-Quran yang ada. Selain dikarenakan ayat-ayat yang global akan dapat diperjelas oleh ayat-ayat yang lain, [20] juga karena banyak pokok bahasan dalam al-Quran yang berkenaan dengan hal-hal multidimensional yang harus disampaikan dengan pemahaman dan bahasa masyarakat umum, sedang hal itu terdapat pada ayat-ayat yang muhkamat, sementara di sisi lain pemahaman dan bahasa masyarakat awam akan memberi pengertian yang bersifat material saja,[21] karena banyak pemikiran masyarakat awam telah terpolusi dan terkontaminasi dengan pemahaman-pemahaman alam materi.[22]
– Kelima, mengingat bahwa bahasa al-Quran berasal dari alam ghaib sebagai sumber alam absolut, maka dapat dipastikan kebenaran hakekat yang dibawanya. Sedang bahasa masyarakat awam bermula dari segala keterbatasan alam pemikiran manusia, oleh karena itu kebenarannya masih bisa dipertanyakan.[23]
– Keenam, adanya perbedaan pengertian dalam penggunaan beberapa kata dalam bahasa al-Quran dan bahasa masyarakat awam, sebagai contoh, kata qalb yang dalam bahasa al-Quran sering diartikan sebagai jiwa atau ruh manusia, sedang dalam bahasa masyarakat awam diartikan sebagai hati sanubari.[24]
Allamah Thaba’thaba’i sangat mengkritik keras pendapat orang yang menganggap al-Quran menggunakan bahasa mitos. Beliau menyatakan, fungsi utama penurunan al-Quran adalah sebagai penunjuk jalan ke arah keselamatan dan kebahagiaan sejati. Menilik dari fungsi utama penurunan al-Quran tersebut, maka cerita-cerita mitos semacam itu tidak akan dapat secara maksimal membantu proses pemberian petunjuk, bahkan akan menjadi penyebab kesesatan. Selain juga karena al-Quran bukan buku cerita yang dapat dipenuhi dengan mitos yang beraneka ragam.
Jadi, walaupun pada asalnya bahasa al-Quran menggunakan parameter pemahaman masyarakat secara umum, namun terdapat beberapa perbedaan yang mencolok dan mendasar sehingga penyetaraan antara bahasa al-Quran dengan bahasa masyarakat awam tidak dapat dibenarkan. Paling tidak ada empat perbedaan mendasar yang dapat disebutkan[25]:
– Pertama, sistematika bahasa al-Quran. Hal itu dikarenakan al-Quran yang diturunkan selama kurun waktu dua puluh tiga tahun dipenuhi dengan ayat-ayat jelas dan samar (mutasyabihat-muhkamat), penghapus dan yang terhapus (nasikh-mansukh), mutlak dan yang dibatasi (mutlak-muqayad)…dsb, dimana letak semua itu dalam al-Quran tidak menentu. Maka atas dasar itulah untuk memahami hakekat satu ayat yang disampaikan dalam al-Quran perlu juga memahami ayat-ayat lain dalam al-Quran. Sedang dalam bahasa masyarakat awam, tidaklah demikian.
– Kedua, terdapat berbagai sarana dan prasarana untuk dapat memahami al-Quran. Karena al-Quran yang turun secara bertahap itu memuat hal-hal yang bersifat gaib. Berbeda halnya dengan bahasa masyarakat awam yang hanya bertumpu pada tata bahasa yang terkait. karenanya dalam memahami al-Quran penguasaan kaidah bahasa merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi, tetapi bukan satu-satunya syarat ataupun syarat utama.
– Ketiga, multidimensinya pemahaman bahasa al-Quran. Sebagaimana yang telah disinggung, al-Quran sebagai kitab pedoman hidup dan penunjuk jalan bagi umat manusia, maka sudah semestinya ia harus dapat dipahami oleh siapapun juga. Sebab itu, ada banyak hadis yang diriwayatkan dari Ahlul-Bait as yang menjelaskan tentang kebertingkatan dan gradualnya pemahaman al-Quran. Berbeda dengan bahasa masyarakat awam yang dalam banyak hal memiliki kejelasan pemahaman, dan cendrung berpemahaman tunggal.
– Keempat, keotentikan ungkapan al-Quran. Kendati al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa masyarakat umum tingkat khusus (‘Urf Khash), namun ia tetap mampu dicerna oleh siapapun juga. Meski begitu, masih terdapat juga tingkatan dalam mencerna kandungannya yang tergantung pada potensi penerima. Berbeda dengan bahasa masyarakat awam yang dapat dipahami oleh siapapun. Dikarenakan adanya keterbatasan dalam pengungkapan suatu materi, oleh karenanya toleransi dalam kesalahan pengucap –baik sengaja ataupun tidak—masih dapat ditolerir.
Bahasa Fitrah
Ada pengertian lain dari istilah bahasa al-Quran yang dapat dijelaskan dalam pembahasan kali ini. Yaitu, suatu metode tertentu dalam penyampaian akan tetapi lebih dilihat dari sisi kandungan bahasa tersebut.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, al-Quran diturunkan untuk pemberian petunjuk bagi segenap manusia, dengan latar belakang apapun. Oleh karena itu, al-Quran harus menggunakan bahasa yang dipahami oleh segenap umat manusia, dari kalangan manapun juga.
Kendati secara pelafalan, al-Quran menggunakan bahasa Arab, namun bahasa kandungan yang dibawa oleh al-Quran harus mewakili semua manusia, sehingga semua lapisan manusia dapat menangkap sinyal yang dibawa oleh al-Quran. Bahasa al-Quran bukan sekedar bahasa gramatika.
Karena ajaran dan kandungan al-Quran tidak sekedar bertumpu pada bahasa dan sastra Arab.
Dalam pembahasan humaniora keislaman telah disinggung, bahwa esensi dasar manusia adalah fitrah manusia itu sendiri. Tiada perbedaan antara fitrah setiap manusia. Fitrah tidak akan pernah berubah dengan pengaruh waktu dan ruang yang ada. Jadi bahasa al-Quran adalah bahasa semua manusia. Bahasa yang tidak melihat sisi kesukuan, tetapi bahasa multi suku. Yaitu bahasa fitrah. Karena fitrah tidak akan pernah berubah, semenjak awal penciptaannya. Jadi, obyek utama ungkapan al-Quran adalah fitrah manusia sehingga al-Quran pun dituntut untuk menggunakan bahasa yang dimiliki oleh fitrah tersebut. Oleh karenanya, untuk memahami al-Quran seseorang tidak bergantung pada budaya bangsa tertentu.
Dan dengan menggunakan bahasa fitrah, al-Quran dapat dipahami oleh semua manusia, tanpa melihat suku, bangsa, tingkat pendidikan, status social dan sebagainya, karena semuanya memiliki fitrah kemanusiaan yang sama.
Dalam banyak ayat disebutkan bahwa al-Quran disifati dengan cahaya (nur).[26] Sedang berbagai riwayat menyatakan bahwa al-Quran memiliki sifat keindahan dan kedalaman makna dan kandungannya. Antara pensifatan cahaya dan kedalaman kandungan tidak ada kontradiksi, bahkan bisa dipertemukan. Cahaya memiliki kekhususan bahwa ia sendiri jelas dan memberi kejelasan (baca: menyinari) terhadap sesuatu yang lain. Sedang kedalaman makna berarti memerlukan penafsiran bagi pribadi yang belum mampu menjangkau kedalamannya. Cahaya lawan dari kegelapan, bukan lawan dari kedalaman sesuatu. Tidak ada konsekwensi antara kadalaman dan kegelapan. Sifat cahaya bagi al-Quran bukan berarti ia selalu bersifat jelas bagi setiap orang tanpa perlu penafsiran (self evident).
Idealnya, semua manusia dapat menikmati cahaya al-Quran, karena al-Quran diturunkan untuk menerangi hati para manusia. Namun, ada syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga al-Quran berfungsi sebagaimana mestinya, menyinari hati manusia. Dalam al-Quran disebutkan manusia-manusia pendosa tiada akan mendapat cahaya al-Quran, karena hati mereka telah tertutup dari berbagai cahaya. Dengan berlaku dosa maka hati mereka menjadi: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka” (al-Muthafifin: 14)
“…Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (al-Haj: 46)
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar, dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling ke belakang. Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri” (an-Naml: 80-81)
sehingga Allah mengkabarkan keadaan hati mereka dengan:
“…dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui” (at-Taubah: 87)
Jadi, tidak melihatnya seseorang akan sesuatu bukan bukti bahwa sesuatu tadi tidak jelas. Sewaktu mereka tidak dapat melihat (baca:buta) dari cahaya al-Quran –karena dosa-dosa mereka yang menutupi hati mereka- bukan berarti al-Quran tidak memiliki cahaya yang jelas. Al-Quran yang menggunakan bahasa fitrah, cahayanya akan selalu dapat dipantau oleh fitrah dan hati setiap manusia yang tidak terselimuti oleh dosa.
Dengan kata lain, hanya hati dan fitrah yang sehat –tidak buta dan tuli—yang mampu melihat cahaya dan mendengar bahasa fitrah yang terpancar dari al-Quran.[27] Allah swt berfirman: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya” (Qof: 37)
Walaupun al-Quran menggunakan bahasa fitrah yang dapat dipahami oleh semua orang, namun penyerapan ajaran al-Quran sangat bergantung kepada potensi penerima. Oleh karena itu, pemahaman setiap pribadi terhadap al-Quran berbeda-beda, sesuai dengan kapasitas potensi yang dimilikinya. Dari situ, maka Allah swt dalam menjelaskan ajaran-ajaran agama melalui al-Quran menggunakan beberapa metode panyampaian.
Dalam menjelaskan metode penyampaian ajaran al-Quran, Allah swt berfirman: “Serulah (manusia)kepada jalan Tuhan-mu dengan [1]hikmah dan [2]pelajaran yang baik dan [3]bantahlah (jadal) mereka dengan cara yang lebih baik” (an-Nahl: 125)
Dari ayat di atas dapat diambil suatu pelajaran, bahwa metode pengajaran yang diberikan oleh al-Quran dapat disampaikan melalui argumentasi rasional ( hikmah), argumentasi normatif ( mau’idhah hasanah), dan argumentasi dialektis (jadal). Akan tetapi ada juga penggunaan analogi yang dapat dipahami oleh semua kalangan, Allah swt berfirman: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran” (az-Zumar: 27)
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (al-Ankabut:43)
Meski demikian, perlu dicatat kembali, hanya fitrah yang tidak terbalut dengan kabut dosa saja yang dapat mencerna cahaya perumpamaan (analogi) yang disampaikan al-Quran. Dalam hal ini Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik” . (Q S al-Baqarah:26 )
Ayatullah Jawadi Amuli, Mufassir sekaligus filosof kontemporer Iran ketika menyebutkan beberapa metode penyampaian ajaran al-Quran mengatakan; ada beberapa metode penyampaian ajaran al-Quran;
Pertama, penggunaan kalimat berita (deskriptif/ikhbari).[28] Al-Quran dalam menyampaikan hakekat terkadang menggunakan kalimat berita. Kalimat berita ini kadang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan argumentasi rasional[29], dan yang berkaitan dengan obyek-obyek riil[30], ataupun yang berkaitan dengan peristiwa sejarah[31].
Kedua, penggunaan kalimat non-deskriptif (insya’i). Terlepas apakah kalimat ini diungkapkan dengan bentuk perintah, larangan, pertanyaan, harapan, janji ataukah juga ancaman. Ketiga, penggunaan kalimat yang bersifat analogis. Kalimat jenis ini kadang disampaikan berdasarkan hasil analisa sebelumnya[32], atau analogi dari sebuah kisah nyata tanpa didahului dengan ungkapan simbolik apapun[33], atau analogi dengan kejadian yang tidak pernah terjadi namun mengandung dalil akan kemustahilannya[34], terkadang pula dengan menggunakan analogi yang didahului dengan ungkapan simbolik[35].[36]
Berkenaan dengan analogi al-Quran, ada beberapa macam penggunaan metode analogis dalam al-Quran. Sekaitan dengan itu, Ayatullah Jawadi Amuli menjelaskan bahwa, dalam al-Quran terdapat beberapa jenis pemakaian analogi;
– Pertama, pelarangan akan pemakaian analogi secara mutlak untuk Tuhan[37].
– Kedua, pemakaian analogi dari kisah nyata yang bertujuan untuk permisalan[38].
– Ketiga, pemakaian analogi dari kisah yang tidak pernah terjadi di alam realita yang bertujuan sebagai simbol ajaran[39].
– Keempat, pemakaian analogi atas hakekat inderawi dan atau non-materi untuk menyederhanakan permasalahan[40].
– Kelima: penggunaan analogi hal-hal inderawi atas hakekat supra-natural[41].[42]
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa bahasa al-Quran menjelaskan tentang hakekat obyek riil yang harus dapat dipahami oleh setiap individu. Untuk itu al-Quran menggunakan bahasa fitrah, sebagai esensi dasar manusia yang tiada perbedaan antara satu individu dengan individu yang lain. Walau demikian, pengungkapan bahasa ini tidak musti dengan satu metode, melainkan dengan metode yang berbeda-beda. Hal itu sangat bergantung kepada potensi setiap individu sebagai obyek seruan (mukhatab) wahyu Tuhan. Dan sebagaimana yang telah disinggung, perbedaan cara pengungkapan tadi adalah dalam rangka penyederhanaan ajaran yang substansinya bersifat transtendental, sehingga dapat dipahami oleh semua kalangan. Wallahua’lam.
Referensi:
[2] Tehrani, Mahdi Hadawi, Mabani-e Kalami-e Ijtihad, Hal:310.
[3] Peterson, Michael, The Reason and Religious Belief (Parsi Edition), Hal:261.
[4] Ibid, Hal:256.
[5] Khosropanah, Abdul Husein, Kalam-e Jadid, Hal:333
[6] Hick, John, Philosopy of Religion (Parsi Edition), Hal:176.
[7] Ghramaleki, Muhammad Hasan Ghadrdhan, Kalam-e Falsafi, Hal:300.
[8] Hick, John, Philosopy of Religion (Parsi Edition), Hal:190.
[9] G.H.R Parkinson, An Encyclopedia of Philosophy, Hal:351.
[10] Amoli, Ayatullah Jawadi, Tafsir Tasnim, Jil:1 Hal:34 / Al-Khu’i, Ayatullah Abu al-Qosim, al-Bayan, Hal: 236.
[11] Mereka –para urafa dan ahli tasawuf- berpendapat semacam itu dikarenakan adanya beberapa hadis, semisal:
“Tiada satu hurufpun kecuali di situ tersimpan nama dari nama-nama Allah” (lihat Syarh tauhid as-Shoduq karya Qodhi Said al-Qummi Jil:2 Hal:38).
[12] Makrifat, Ayatullah Muhammad Hadi, Majalah Bayyinat, No:1 Hal:54.
[13] Yazdi, Ayatullah M T Misbah, Majalah Makrifat, No:19 Hal:16-18.
[14] Khumaini, Ayatullah Ruhullah, Sahifah Nur, Jil:14 Hal:251.
[15] Mizan, Jil:1 Hal:5-8.
[16] Ibid, Jil:2 Hal:175 atau Jil:3 Hal:292 dan atau Jil:13 Hal:15-16.
[17] Lihat Q S al-Isra’:89 atau al-Ankabut:43.
[18] Ibid, Jil:2 Hal:18.
[19] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan, Jil:3 Hal:21/41.
[20] Ibid, Jil:7 Hal:167.
[21] Ibid, Jil:1 Hal:11.
[22] Ibid, Jil:2 Hal:18.
[23] Ibid, Jil:5 Hal:381.
[24] Ibid, Jil:2 Hal:234.
[25] Ghramaleki, Muhammad Hasan Ghadrdhan, Kalam-e Falsafi, Hal:323-324.
[26] Q S an-Nisaa’:174 atau Q S at-Taghabun:8.
[27] Amuli, Ayatullah Jawadi, tafsir Tasnim, Jil:1 Hal:62
[28] Perlu dicatat bahwa kalimat berita (ikhbari) mengandung benar-salah. Sedang kalimat non-deskriptif (insya’i) tidak mengandung benar-salah, seperti kalimat tanya, perintah…dsb.
[29] Seperti pada ayat 22 dari surat al-Anbiya’ yang berkaitan dengan analogi penetapan keberadaan Tuhan.
[30] Seperti pada ayat 12-14 dari surat al-Mukminun yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia.
[31] Seperti banyak ayat yang mengisahkan tentang sejarah para nabi dan umat-umat terdahulu.
[32] Seperti pada ayat 88 surat al-An’am yang berkaitan dengan analogi bagi orang-orang yang berbuat baik.
[33] Seperti pada ayat 13 dari surat Yasin yang berkaitan dengan pengutusan para rasul.
[34] Seperti pada ayat 22 dari surat al-Anbiya’ yang berkaitan dengan kemustahilan akan keberadaan tuhan secara berbilang.
[35] Seperti pada ayat 21 dari surat al-Hasyr yang berkaitan dengan penurunan al-Quran.
[36] Amuli, Ayatullah Jawadi, Din Syenosi, Hal: 91-95.
[37] Lihat Q S an-Nahl:74.
[38] Lihat Q S Yasin:13.
[39] Lihat Q S al-Hasyr:21.
[40] Seperti ayat-ayat yang berkenaan dengan sorga dan neraka.
[41] Lihat Q S Yunus:24.
[42] Amuli, Ayatullah Jawadi, Din Syenosi, Hal:95-97.
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)